aren’t we all wanderers?

f.
7 min readMay 4, 2024

--

Beberapa hari lalu, teman SMA-ku sidang skripsi. Kebetulan aku inget zaman-zaman surem pandemi kami saling kirim surel dan kebiasaan itu berlanjut sampai sekarang untukku dan beberapa temanku, terutama saat ulang tahun dan saat rasanya ingin cerita tapi nggak mau via WhatsApp. Masa akhir tahun SMA kami dirampok oleh pandemi padahal udah dipangkas secara waktu karena pilihan kami sendiri :D kata Millata kumpulan orang-orang haus validasi. Karena temanku wisuda, aku ngubek-ngubek surel zaman 2020, baru dipulangin dari asrama. Lalu akhirnya keterusan bacain surel-surel tahun-tahun setelahnya. Dan aku menemukan pola.

Krisis

Kalau kuperhatikan, mostly aku dan teman-teman yang kuanggap sebagai innermost (kriteria: sering berkirim reels dan jokes garing, sering tidak berkabar beberapa hari, lalu muncul bawa trivia aneh dan brain dumping) sedang mengalami krisis kami masing-masing. Aku sadar banget bahwa keresahan-keresahan dari 3–4 tahun lalu tuh masih sering ada dan akan muncul perlahan, terus dibiarkan di pikiran numpuk, terus bikin krisis. Trigger-nya macam-macam. Kalau bulanan ya menstruasi, kalau keadaan eksternal (di aku), ujian. Atau kalau lagi buka internet terus bandingin hidupku sama hidup orang lain. Nah, berikut tiga pertanyaan yang muncul terus selama 3–4 tahun ini (bahkan aku yakin lebih dari itu juga udah muncul, tapi 3–4 tahun ini muncul dengan intens):

  1. Apa yang benar-benar aku yakini dan mengapa aku meyakini itu?
  2. What makes me tick? What makes me burn?
  3. WHAT THE HELL IS MY “WHY” to live this freaking existence? ya gitu dah tipikal pertanyaan eksistensialisme yang menanyakan tujuan idup di dunia ini.

Dalam praktiknya, pertanyaan-pertanyaan itu bikin aku dan Millata ngerasa hidup kita stagnan. Pernyataan itu bisa di-counter dengan jurnal-jurnal yang lalu atau percakapan-percakapan kita, enggak kooook gak stagnan. kita gerak, tapi ada masanya berhenti bentar, seperti saat pertanyaan itu berkelindan di kepala.

Dugaanku, kenapa pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul, ya karena kita manusia yang evolving? Kita yang sekarang nggak persis sama dengan kita beberapa hari lalu, beberapa bulan lalu, dan beberapa tahun lalu. Pun dengan jawaban-jawaban atas tiga pertanyaan itu. Kita terus-terusan nyari yang relevan dengan apa yang sedang terjadi, ga hanya dalam diri tapi juga lingkungan. Menurutku mirip sama segitiga epidemiologi, yaitu ada faktor host, agent, environment. Ketiganya nggak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi.

Aku 4 tahun lalu dalam menghadapi pandemi surem dan ujian-ujian universitas kalau kulihat dari surel yang kukirimkan kepada teman-temanku, sungguh positive thinking coy, kaget banget. Mampu buat ngelihat dan berprasangka baik sama yang bakalan terjadi ke depannya. Sampai heran sendiri kok dulu bisa bikin kata-kata itu ya? Kemana spirit itu ya….Masa gara-gara sekarang yang dihadapi udah beda lagi dan terasa lebih berat? Bukannya dulu juga ngerasanya berat juga ya? Kadang aku iri banget dengan diriku dalam mata 17 tahun bisa nulis sesuatu yang comforting, tapi ya minus-nya jadi terlalu dreamy dan naif sih. Tapi aku terima kasih juga sama aku umur 17 tahun karena nulis ITU HAHHAHAAHAA kalau dibaca sekarang menggelikan tapi somehow masih relevan dengan apa yang kuhadapi sekarang? Kayak, ini loh yang mau aku harapkan ucapin ke diri sendiri. there’s always a light at the end of the tunnel, ya gak? dengan catatan, only if we walk it through the tunnel until the very end.

Lalu, kapan terowongan gelap itu kelar? Kok kayaknya ga kelar-kelar ya? Apa yang membuat tetep milih untuk jalan sampai ke ujung terowongan? Menurutku, harapan dan kasih. Harapan timbulnya dari diriku, the host. Kasih hubungannya dengan agent and environment, sebagai penerima sekaligus pemberi. Siapa yang menimbulkan harapan dalam diriku? Mungkin Allah? Jadinya ke hablumminallah. Mungkin kalau ditarik garis lagi, Allah titipkan harapan itu? Bisa melalui traits dan gimana kita perceiving atas apa yang kita alami. Terus, kalau diriku terberi harapan itu, apakah He will guide me through menghidupi harapan-harapanku? Dengan cara apa? Dengan jalan yang gimana? Muter-muter dulu? Krisis kayak gini dulu? Untuk kemudian, mencari, meminta, melakukan, lalu, menjadi? Jujur masih ga tau yah dalam proses itu tuh, apakah sudah tercatat kita menjadi siapa atau belum? atau sebuah pilihan, yang pada akhirnya, kita memilih menjadi?

Kedua, kasih. Antara aku dengan orang-orang yang mengasihiku dan aku kasihi, antara aku dengan lingkunganku bertempat.

Interaksi antar-individu itu saling mempengaruhi ngga sih? Baik skala kecil atau skala besar. Aku baru menyadari akhir-akhir ini, separah apa pun aku individualis, aku tetap longing for a nurturing community. Contoh kecilnya, idea ini berusaha kutepis habis-habisan, sangat susah untuk unlearn, bahwa gak papa kok untuk minta tolong. Bukan berarti lemah, tapi kadang hasil kolaborasi tuh lebih oke ga sih daripada individu? (ini sesuaikan konteks yah).

Sampai tahun ketiga ini, tiap kali mau ujian osce, aku selalu praktik bareng teman kosku. Jadinya, resources yang dikeluarkan ga banyak-banyak banget karena kolektif dan kreatif AHHAHAHAHA, belajar saling praktikin dan benerin h-1 pun oke-oke aja. Akhirnya, lulus osce oneshot :DD.

latihan osce (kreatif betul)

Begitu pula kalau orang-orang sekitarmu misalnya sungguh keong atau sedang keong. Akan nambahin satu PR lagi, gimana biar perbaiki atau keluar dari sana. Berat. Harus selalu inget juga kalau masing-masing orang tuh punya issue-nya masing-masing, tinggal mana yang bisa dikontrol sama dirinya sendiri waktu interaksi sama orang atau yang bisa ditoleransi oleh orang-orang yang membersamainya. hence, moga-moga selalu punya a loving, caring, and nurturing innermost circle.

Ketiga, environment. Alam (dalam hal ini, yang bukan manusia), juga sebenarnya punya idupnya sendiri gak sih? Cuma karena kita sangat butuh, buat makan, minum, kucing untuk lucu-lucuan, alam untuk memperkaya diri, mereka jadi interact sama kita. Dan tentunya, SANGAT AMAT SALING MEMPENGARUHI sama nomor 2 dan 1. Kondisi alam misalnya. Seseorang yang hidup di dataran tinggi kan kadar oksigennya lebih rendah, dia adaptasinya dengan produksi sel darah merah yang lebih banyak, biar hemoglobin yang buat ngiket oksigen itu juga makin banyak, jadinya bisa memenuhi kebutuhan tubuh kita akan oksigen itu (ref: guyton 13rd ed, p.448).

Contoh simpel, laper mata waktu beli takjil buka puasa. Jadinya beli kebanyakan, terus kekenyangan, terus tu makanan ga habis akhirnya ngebuang. Sampah dapur numpuk tanpa diolah. Ngerusak alam. Atau contoh gede, seorang pembikin kebijakan mengesahkan sistem bapuk tentang regulasi berdirinya pabrik. Lalu seorang crazy rich memilih menjadi pengintervensi sistem yang dibikin pemerintah untuk nambah kekuasaan dengan nyogok. Yang mana sistemnya dari awal dah bapuk, apa gak tambah-tambah bapuknya dan berdampak ke lingkungan? Keserakahan manusia men. tebang pohon gede-gedean, emisi karbon, pabrik-pabrik gede yang ngerusak lingkungan, terus seolah permasalahan itu adalah masalah individu bukan kolektif dan sistemik yang ribet?? Tapi gimana kalau kesadaran kolektif mulai dibentuk? Perbaikan sistem, ramah alam, tidak serakah, sustain. Meredakan perubahan iklim.

Link segitiga tadi adalah kesadaran sih. Sadar dulu, untuk bisa mengendalikan diri. Karena relasa goes in both ways, bisa protektif dan bisa juga destruktif.

kalau aku udah ada value untuk aku yakini dan jalani untuk kemudian aku jadikan harapan atau tujuan, biasanya itulah yang membuatku menjawab pertanyaan nomor dua, what makes me tick and what makes me burn. Aku menyetujui tulisannya Rakean, bahwa aku butuh obsesi (yang kadang kalau aku, adalah harapan itu sendiri), yang diibaratkan sebagai api. Kalau nyala, ia terang, menerangi, membara, bikin semangat menjalani. Kalau udah membakar? Huru-hara, pusing, enraged, lalu mati. Dan lagi-lagi, untuk mengendalikan dua polar itu, kesadaran untuk kemudian mengendalikan diri.

Pertanyaan nomor 1 dan 2 sifatnya temporal, sering berganti rupa seiring bergantinya waktu dan yang kubilang tadi, yang relevanan. Kemudian pertanyaan nomor 3, paling susah dan menurutku paling abstrak. Frankl pernah bilang bahwa those who has the why to live can bear almost any how. Tapi men, menurutku the why yang dia maksud masih di pertanyaan 1 dan 2. Kalau yang ketiga, jauh lebih gede, sesuatu yang belum dimengerti dan nggak akan pernah selesai berusaha dimengerti. Apa yah? Fragmen-fragmen yang membentuk aku, dari waktu ke waktu, sampai nanti jadi konklusi waktu udah saatnya pergi dari sini. Atau justru pertanyaan ketiga adalah root dari pertanyaan ke-1 dan ke-2? Apa the why itu yang terberi? Adalah peran? Bahwa kita terberi peran masing-masing di dunia ini? Lalu tugas kita nge-break down satu-satu, tahun ke tahun, untuk menjadi?

Dan dalam prosesnya, itulah yang aku dan millata sebut krisis? Perlu krisis? untuk re-evaluate? Dalam bentuk pertanyaan………sampai bingung gini…..untuk nanti mencari……sebagai upaya untuk lebih mengerti hidup? Meskipun jalannya non-linear dan pertanyaan pemicunya itu-itu mulu? afterall, aren’t we all wanderers?

aku nemu kalimat bagus banget di twitter, meskipun bahasannya tentang selfie biar pede dan embodying energinya Ivan Gunawan dalam poto “MEMANG”, kalimat itu bisa kuinget-inget juga biar tiap kali krisis itu hadir mulu, aku bisa mengendalikan diri untuk lebih tenang dan lihai untuk memutuskan apa yang harus kulakukan. Dengan menerima, menghadapi, atau melepaskan.

poto ambil dari twitter
Thelma Verata (thefireinme2019.com)

05/05/2024

Sincerely,

F.

Must read:

Api Obsesi by Rakean Radya: https://rakeanradya.medium.com/api-obsesi-a3d76a30be27

--

--

f.
f.

No responses yet