Berjalan Lebih Jauh ke Solo — Catatan Perjalanan

Banda Neira, Telusuri Solo, Serius

f.
12 min readDec 26, 2024

Tujuan dari perjalananku kali ini adalah ke konser Banda Neira yang udah bubar selama 8 tahun, yaitu Berjalan Lebih Jauh. Pikirku awalnya adalah yaudah konser aja habis itu pulang jadinya aku nggak menyusun itinerary, tapi nggak jadi. Nggak jadi cuma 2 hari tapi jadi 4 malam dan itinerary-nya baru ditentukan h-1 atau bahkan hari-h. Perjalanan kali ini juga santai banget. Pagi jalan, siang hujan dan tidur di kos sampai sore, malam lanjut jalan lagi. Semua malam adalah antidote dari lirik Konservatif-nya The Adams, alias jam 9 malam belum pulang.

Banda Neira

Aku pernah bikin target kapan aku akan sidang, yaitu pada bulan Oktober. Tentu saja target itu meleset, tapi aku ga masalah ternyata. Jadi targetku berganti menjadi selama belum lewat deadline, bebas aja kapan sidangnya. Pertengahan November tiba-tiba Banda Neira berkabar kalau bakalan melanjutkan perjalanannya sebagai “Banda Neira” dan akan ngadain konser 21 Desember di Solo. KAGET LAH AKU. Bengong bentar. Habis itu mikir, surreal amat 8 tahun bubar abis itu tau-tau mau lanjut lagi dengan nama yang sama dan tiba-tiba rilis album, tiba-tiba adain konser? Aku bilang ke Millata, kira-kira bisa ga ya sebelum tanggal 21 aku udah sidang? Kenapa gitu? Karena aku ingin waktu aku datang ke konser Banda Neira, aku udah bebas dari kewajiban skripsiku. Iya men, kewajiban karena kalau gak gitu aku gak lulus. Dan ternyata, bisa.

Set panggung

Sebenarnya bahkan sampai aku datang ke konsernya pun, masih asing di kepalaku dengan the idea of “melanjutkan” Banda Neira. Kuduga perasaan asing itu terjadi karena 8 tahun lalu, selain aku menjadi pendengar Banda Neira, aku juga menjadi pembaca tumblr Rara dan Nanda, tempat mereka nulis-nulis tentang asal-usul Banda Neira, proses pembuatan lagu yang LDR Jakarta-Bali, rekaman di Jogja dan bertemu Gardika Gigih, dan ada tulis mereka begini, “karena separuh, sebagian, dan sebagian besar dari Banda Neira adalah Rara Sekar”, “karena separuh, sebagian, dan sebagian besar dari Banda Neira adalah Ananda Badudu”, kurang lebih gitu sih aku lupa juga spesifiknya gimana. Jadi, Banda Neira sebagai Rara DAN Nanda udah nempel di kepalaku. Terus sekarang, jujur aku sampat sangsi akan merasa Banda Neira masih “Banda Neira” seperti yang kudengerin 8 tahun ke belakang atau nggak. Tentu secara harfiah nggak sama, maksudku, apakah secara nggak harfiah (nggak nemu istilah yang pas), Banda Neira masih sama? “Soul”-nya? Dari album baru Banda Neira dengan formasi Nanda dan Sasha, Tumbuh dan Menjadi, yang baru muncul di algoritma spotify non-premium milikku dan sudah akrab di telingaku adalah Ajariku Jadi Berani dan Seorang Pemula, jadi, seperti approach-ku terhadap Kunto Aji maupun WSATCC di konser-konser lalu, konser ini sekaligus jadi bikin aku wondering, dari album baru itu, adakah yang akan jadi favorit baru?

Aku suka suasana yang terbangun hari itu. Di luar lagi hujan, di dalam teater seperti namanya pertunjukan intim, nggak banyak orang jadi nggak penuh sesak. Set panggungnya sangat merepresentasikan Banda Neira yang Tumbuh dan Menjadi. Aku awalnya duduk lesehan di tengah depan, tapi karena mempertimbangkan kenyamananku, aku beralih duduk di tribun tengah. View yang kudapatkan sangat oke dan yang terpenting, aku bisa senderan jadi punggungku nggak capek. Dari tempat duduk ini aku juga bisa mengamati suasana yang terbangun.

Biru

Lagu pertama, Biru dari album Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti. Ini lagu aku heran kenapa dijadikan pembuka karena pembuka biasanya ga langsung lagu-lagu sendu tuh. Tapi karena dijadikan pembuka, aku langsung bilang ke Millata kalau aku nyaris nangis bjirrrrr. Aduh ini mah emang “masih” Banda Neira, meskipun ganti formasi hiks hiks (meskipun jujur masih ada sedih-sedihnya). Menurutku Sasha dan Nanda berhasil dalam membawakan dan menghidupi lagu-lagu Banda Neira, bukan sebagai “pengganti” Rara, melainkan sebagai Banda Neira yang memulain perjalanan baru. Sasha dengan biola dan kalimba dan Nanda dengan macam-macam gitarnya, berdua mereka introvert dan nyeleneh WKAKKAKAKA. Kaga serius banget tapi ya serius banget. Masa di tengah-tengah lagu Seorang Pemula, ulang dari awal karena nggak pas tuh chord-nya. Ngikik sih men. Lagu-lagu berlanjut, mix dari satu album ke album lainnya. Track favoritku dibawakan. Langit dan Laut, Esok Pasti Jumpa, Di Atas Kapal Kertas, dan masih banyak lagi karena sebenarnya dua album Banda Neira sebelumnya tuh semuanya masuk sih di aku. Ada yang nggak dibawakan memang, seperti Bunga. Padahal kukira karena album barunya Tumbuh dan Menjadi, Bunga akan dibawakan. Tapi tak apa. Oya, nambah satu lagi favoritku dari album baru, yaitu Kan Terus Ku Tulis, Sampai Nafas Ini Habis.

Menampilkan Gardika Gigih

Part paling GONG menurutku adalah kemunculan Gardika Gigih saat Sampai Jadi Debu. Aku sama sekali ga nyangka mereka akan menampilkan Gardika Gigih. Malam itu magis sekali. Aduh gabisa berkata-kata intinya magis. Kok bisa yah kayak gitu hzmzmzmzm keren amat. Sepanjang lagu nggak Banda Neira nggak penonton sama-sama nangis dan kayak kesirep sama suasananya. Aku belum ada pengalaman personal dengan lagu ini, tapi tiap kali dengerin sejak pertama kali, selalu ngena. Nggak pernah gagal.

Pengalaman konser yang baru buatku. Baru kali ini aku sangat puas sama sebuah konser, yang bikin mencureng auto termaafkan waktu Banda Neira start nyanyi. Di konser ini aku juga nggak tercepot-cepot, dapat duduk nyaman, beli bunga putih, ada sesi istirahat dan dapat kopi, juga dapat buah. Pengalaman yang kayaknya bikin standard untuk konser-konser yang kuhadiri selanjutnya. Kemarin itu juga ada yang melamar pacarnya sebelum Sampai Jadi Debu itu lucu banget sih men.

Aku punya pengalaman personal yang lekat dengan lagu-lagu Banda Neira sejak 8 tahun lalu, iya, waktu mereka bubar aku baru start dengerin. Tiap-tiap chapter hidupku rasa-rasanya selalu ada yang soundtrack-nya Banda Neira. Seperti Hujan di Mimpi dan Esok Pasti Jumpa waktu SMP, Biru waktu nyusun kerangka novel saat SMA, Senja di Jakarta waktu perjalanan study tour Malang-Bandung, Langit dan Laut waktu penyusunan proposal skripsi, Ajariku Jadi Berani waktu rungsing gara-gara ga mulai-mulai ngolah hasil penelitian, Bunga waktu lagi KM, Tini dan Yanti waktu baca Laut Bercerita dan Pulang, banyak deh memori-memori baik signifikan maupun insignifikan yang lagu Banda Neira memenuhi celah memori itu. Gak nyangka akhir tahun ini bisa nonton konser mereka bawain lagu-lagu yang sering kudengerin.

Kini aku udah gak masalah kalau Banda Neira dilanjutkan Nanda dan Sasha, selama jiwanya masih sama. Semoga Nanda dan Sasha panjang umurnya, semoga Banda Neira umurnya panjang.

Kale Dalam Gang

Ada satu rumah tua dalam gang di Laweyan. Rumah tua itu dijadikan ruang untuk makan malam dalam gang dengan menu seasonal yang berganti tiap 3–4 bulan, namanya Kale Locale. Suasana dalam rumah itu terbangun hangat. Musik jazz dan klasik yang mengiringi manis ditambah dengan lilin yang dinyalakan. Aku dapat yang sesi malam, untungnya hujan sudah reda. Nah karena itu, masih ada sisa-sisa bau hujan yang menyentuh tanah dan bikin adem. Datang ke sana seperti datang ke perjamuan makan malam yang diadakan oleh tetua keluarga. Perpaduan suasana yang didukung alam dan dibangun Kale Locale, aku suka.

Kale Locale

Total jamuan ada 6, dimulai dengan minuman dari ekstrak daun dill, curcuma, lemon, dan jahe, lalu diakhiri dengan dessert mousse ubi ungu. Semuanya terasa “pas” dan cukup, meskipun jelas saja porsinya kecil-kecil tapi aku tetap kenyang sih di akhir. Pengalaman makannya asik karena menggabungkan masakan yang sebetulnya sudah familiet tapi dibongkar sedemikian rupa dan dirangkai kembali dengan bentuk yang lain. Contohnya tahu gulai bechamel. Siapa sangka pink-pink jelly itu adalah acar bawang merah yang di-jelly-kan? Atau dessert judulnya timus. Di piringku gaada bentukan timusnya, adanya adalah breakdown dari bahan-bahan yang ada di dalam timus, yaitu ubi ungu dijadikan mousse diisi kinca gula merah dtambah taburan kacang dan parutan kelapa. Sayangnya, menurutku kurang berani aja dalam eksplorasi bahan karena ekspektasiku adalah aku “terkejut” dan menemukan “rasa-rasa baru”. Tapi bisa dimengerti sih kenapa mereka memilih main aman, tetapi dengan elevating segi pengalaman makannya. Tetap worth to try karena konsepnya unik dan dapet pengalaman yang beda dari kebanyakan. Menurutku akan lebih oke jika aku ada teman ke sana, jadi saat nunggu tiap jamuan bisa mengobrol atau alternatifnya adalah bawa jurnal karena suasananya bikin aku pengen nulis, sayangnya kemarin aku nggak bawa.

Menu Season 6
Tahu Gulai Bechamel
Timus

Telusur Pasar, Gang, dan Tour Bercerita

Hari Minggu aku diajak Millata untuk ikutan walking tour area Mangkunegaran. Aku udah pernah ke MN tahun 2022, saat itu belum ada Pracima dan perpustakaan MN masih gratis (kabarnya sekarang berbayar), lebih lengkapnya baca di catatan perjalanan Solo 2022. Yang kali ini, kami menelusuri area sekitar MN, kata Millata karena belajar sejarah jadi bisa embracing something beyond feodalism wkakakakaka. Spot yang menarik adalah bekas tempat latihan prajurit MN yang sekarang jadi tempatnya abdi dalem dan padepokan tempat pengembangan budaya dan seni. Cerita tentang Gusti Nurul yang gak mau dipoligami, bagaimana MN 7 jadi visioner karena krisis sebelumnya, dan bagaimana MN 6 pelit karena mempertimbangkan krisis saat itu lalu pas dimakamkan nggak mau sepemakaman sama MN-MN sebelumnya karena ngrasa nggak layak bikin aku wondering ke mana dah perginya pejabat berintegritas dan tahu malu itu sekarang wkakakka.

Bekas tempat prajurit
Pelatihan bocil keturunan MN

Habis walking tour, aku dan Millata kelaparan. Kami memutuskan untuk makan tengkleng Bu Edi di Pasar Klewer. Di maps tulisannya buka jam 12, kami datang jam 12 lewat dikit dan udah ramai pengunjung. Untungnya gercep tapi ya itu, gercep juga orang-orang lain datang sampai tempatnya penuh sesak. Aku dan Millata memilih untuk duduk di kursi plastik di luar tempat tengkleng biar ga sumuk dan ga ramai. Waktu tengklengnya datang, ini mah semua bagian kambing kayaknya ada di satu piring. Kaki, daging, rusuk, ada semua. Jujurrr sampai besok dan besoknya masih kerasa effort ngehabisinnya dan gimana tempatnya rame serasa digruduk padahal baru buka. Mungkin karena legendaris dan pangsa pasarnya adalah turis. Kelar makan kami ke kios buku bekas di sekitar Kasunanan Surakarta, masih sangat dekat dengan tengkleng. Di sana, kami ketemu Das Capital versi Bahasa Jerman. Sayangnya lapak yang Millata maksud lagi ga buka.

Tengkleng
Tengkleng Bu Edi

Agenda esok harinya adalah membakar lemak-lemak tengkleng dengan susur Pasar Gede dan gang-gangan di Laweyan. Wkakaka sebenarnya masih wisata kuliner tapi lumayan sehat karena diimbangi jalan kaki dan yang kami makan ga seberat kemarin. Sebelum menelusuri, kami sarapan tahok dulu (di Surabaya disebut tahua). Karena datangnya kesiangan, tahok yang legendaris itu sudah tutup, jadi kami ke tahok satunya yang berlokasi di dekat tangga. Penjualnya masih muda dan interaktif. Aku berkesempatan untuk self-service tahok, lucu. Menurut kami, inilah poin unik dari tahok ini. Interaktif dan menghadirkan pengalaman ambil tahok sendiri. Harganya cuma 8 ribu. Menurutku bedanya dengan versi yang kumakan di Surabaya adalah teksturnya lebih mudah hancur dan lebih kasar yang Solo punya, kemudian rasa tahoknya juga lebih “tahu”, ada sedikit hint pahit. Kalau yang Surabaya nyaris seperti susu kedelai dijadikan jelly, lebih manis. Lalu kuahnya kalau di Solo dominan rasa gula merah, kalau Surabaya lebih terasa kuah jahenya.

Tahok

Habis sarapan tahok, kami lanjut menyusuri sisi-sisi Pasar Gede. Melihat interaksi orang-orang, dagangan yang khas, dan betapa multikulturnya Pasar Gede. Aku memutuskan untuk beli kopi bubuk di Kopi Podjok, kios kopi yang udah ada sejak puluhan tahun lalu. Aku sebenarnya nggak ngerti kopi sih, jadi aku cuma bilang ke mas-masnya pilihin biji kopi yang biasanya disukai bapak-bapak. Akhirnya aku dipilihkan robusta lanang. Bijinya berasal dari temanggung lalu dijadikan bubuk kopi. Aku beli 250 gr. Kopi Podjok juga buka stand kopi gelasan gitu, namanya Kopi Angkring. Jujur wanginya bikin pengen cobain sih tapi aku dan Millata menahan diri karena pasti gaakan habis tuh kopinya kalau kami beli.

Kopi Podjok

Kami lanjut cao ke Laweyan. Agenda utamanya adalah cobain ledre laweyan. Motor diparkir di masjid dekat 1956 lalu kami jalan random masuk ke dalam gang sampai ketemu penjual ledre laweyan yang baru buka. Ledre laweyan terbuat dari campuran ketan dan kelap yang dikasih pisang dan topping pilihan (hanya ada dua pilihan, coklat dan keju) di tengahnya. Katanya, ledre laweyan ini masuk dalam Serat Centhini. Lalu kami makan ledrenya di tempat duduk dalam gang, sepertinya kalau malam itu buat pos. Dari satu gang ke gang lainnya, banyak kami temui pengrajin batik dan tumbuh lumut dan paku-pakuan di retak-retak dinding yang mengapit gang. Kami jadi ingat tweet seseorang di Twitter “semoga tumbuh bunga di sela-sela retakmu”. Tapi sebenarnya waktu udah jalan lamaan baru mulai kerasa lembapnya sih, atau kayaknya aku aja yang lagi menuju flu jadi sensitif abis tu hidung. Kami sengaja menelusuri sampai mentok, abis itu dilanjut dengan naik motor untuk nyari setup makaroni yang akhirnya ga nemu sih, tapi kami ketemu dengan denah. Pada denah itu ada yang menarik, yaitu beberapa spot “pohon tua”, si Millata katanya mau lanjut menyusuri pohon tua-pohon tua yang ada di Laweyan.

Bikin ledre
Ledree
Di sela-sela retakmu

Fluent in Silent

Sebenarnya bisa dikatakan tempat yang pertama kudatengin setelah sampai di Solo adalah Pasar Triwindu. Pagi itu sekalian aku cari sarapan di Soto Triwindu. Millata masih bantuin temannya jadi aku pergi sendirian. Ternyata lokasinya Soto Triwindu bisa ditempuh jalan jaki dari Pasar Triwindu sekitar 3 menit jalan kaki. Hari itu di sana ramai, tapi pelayanannya cepat. Tungkunya menyala, rasa sotonya ringan pakai daging sapi bukan daging ayam, lalu porsinya menurutku sedikit. Berbeda dengan soto lamongan yang kuning dan berempah berat, soto triwindu menurutku ringan. Habis sarapan aku balik ke Pasar Triwindu untuk nyari kebaya. Ada satu kebaya yang bikin aku naksir berat sebenarnya, tapi urung kubeli karena yakin aja tuh nggak bakal sering kupakai. Selain itu, di Pasar Triwindu juga surganya perintilan-perintilan antik yang tentu saja menggoda untuk kubeli tapi urung men karena memikirkan penggunaannya nanti. Sebelum hujan turun, aku bergegas ke Bloomery Keprabon. Kulihat di google maps jaraknya dekat, bener aja ternyata bisa ditempuh 3 menit jalan kaki dari Pasar Triwindu. Di sana aku pesan mille crepe cheese. Sembari menikmatinya, aku baca Animal Farm versi bahasa Indonesia. Di luar hujan, playlist-nya Bloomery cocok sama aku, makanya aku suka. Menurutku bisa dijadikan spot bengong asalkan nggak ramai. Ini kedua kalinya aku ke Bloomery (buat bengong).

Soto triwindu
Baca buku di Bloomery

Wayang Orang Sriwedari

Millata mengajakku untuk nonton wayang orang di Teater Sriwedari. Untuk nonton bisa reservasi dulu agar dapat tempat duduk yang ga bikin sakit punggung (sandaran empuk) dengan harga 20 ribu sajaa. Saat itu mereka menampilkan wayang orang judulnya “Janaka Madeg Nata”. Premisnya adalah Arjuna (Janaka) mau mendirikan negara sendiri, nah dari situ timbul banyak pro kontra. Seluruh dialog pakai Bahasa Jawa dan karena wayang orang jadi pertunjukannya diiringi dengan gamelan, tarian, dan tembang dari sinden. Dari segi itu aku menikmati banget, tetapi aku nggak sabar ingin loncat ke inti cerita. Mencoba nonton pertunjukan wayang orang tuh bagiku kayak latihan fokus. Aku dan Millata sama-sama gugur pada dua jam pertama. Pertunjukan masih menampilkan empat babak, sedangkan itu masih baru proses awal pengenalan latar tokoh-tokoh yang terlibat. Memang short attention span bjir harus dilatih. Apalagi buatku yang nggak baca atau nonton Mahabarata dan pengetahuan wayang yang cuma didapat dari pelajaran Bahasa Jawa waktu SD-SMP, jelas nonton wayang orang tuh hal yang masih baru banget. Akhirnya, setelah dua jam, pukul 10.15 malam, kami lari ke Slari karena sudah ga sanggup lagi.

Hati-hati aja karena di sekitar Teater Sriwedari rusa-rusanya dilepasin. Aku hampir kena sruduk waktu makan siomay di bangku taman.

Opening
Punokawan

Lagi-lagi perjalananku masih sekitaran Jawa Tengah, mungkin nanti aku akan berjalan lebih jauh lagi, seperti lagu Banda Neira. Aku sungguh menikmati perjalanan yang sans banget ini wkakaka nggak ambis dan nggak grasa-grusu, padahal bisa banget itinerary-ku dimampatkan jadi dua hari. Faktor lainnya adalah karena aku sudah selesai sidang, meskipun belum revisi dan belum submit jurnal, jadi aku sedikit tenang.

Sepertinya pejalanan ini sekaligus menutup 2024, sebelum PPN naik jadi 12%, sebelum akademia jadi makin serius, sebelum masuk ke 2025 dan usia baru yang terdengar serius. Aku dan Millata sepakat akan hal itu, tahun yang terdengar serius, usia yang cukup matang untuk dianggap dewasa melakukan hal-hal serius, tapi juga masih dimaklumi jika ngelakuin hal-hal clumsy dan melakaukan kesalahan. AMAKAKAKKAKSKSNS gws men moga bisa menikmatinya.

Semoga bisa mendewasa dengan menyenangkan.

Menatap tahun yang serius

27/12/2024

1.25 am

Sincerely, F.

--

--

f.
f.

No responses yet