Aku pertama kali mengenal “Bilangan Fu” dari penulis Nala Anarki Renoir — pengalaman kasmaran fiksi pertamaku. Akan tetapi, pernah nggak kasmaran tersebut, sekalipun fiksi tetap mengubah hidup? Nah, aku mengalaminya waktu SMP kelas 2. Karena mengenal Nala Anarki, aku mulai baca banyak buku di luar buku yang biasanya aku baca, merancang goals hidup yang nekat-nekat, dan dengerin lagu-lagu yang ternyata cocok banget di aku. Waktu itu, aku cari PDF illegal-nya di google dan ada tuh. Tapi nggak kuat. Aku nggak paham maksud buku ini apa, ngebosenin banget, dan gak jelas.
Meskipun begitu, Bilangan Fu terus menghantui sebagai bacaan yang diriku sendiri penasaran dibuatnya. Apalagi setelah lebih dulu membaca Saman dan Larung karya penulis yang sama. Jadi aku memutuskan untuk beli buku fisiknya (secara legal) waktu 2019. Masih tetap nggak mampu aku selesaikan, masih nggak paham, masih ngerasa berat. Sampai akhirnya, 10 April, aku membacanya. Aku masuk ke cerita Sandi Yuda-Marja-Parang Jati.
Aku merasa diriku adalah Sandi Yuda, manusia modern yang jarang tersentuh nilai tradisional, skeptis akan tradisi, dan sering sewot wkkwkwkwkw.
Kamu bisa membaca sinopsisnya terlebih dahulu….
Nah, kehadiran Parang Jati di hidup Sandi Yuda, praktis membikin dirinya berganti mengkritisi diri sendiri karena adanya kejadian aneh-aneh tetapi nyata.
Secara garis besar, Parang Jati memberi kritik pada 3 M, Modernisme, Monoteisme, dan Militerisme. ketiganya, dalam taraf yang ekstrem, akan menyebabkan chaos dalam eksistensi sebagai manusia sekaligus bagaimana berinteraksi dengan lingkungan hidup.
Modernisme — Revolusi besar-besaran, kapitalisme, keserakahan, hingga kerusakan lingkungan, individualisme, keinginan untuk mengagungkan rasionalitas sehingga merendahkan orang lain. Aku setuju sekali, makin ke sini, makin kurasakan diriku hanya berinteraksi secara formal saja, superficial. Hanya di permukaan. Untuk interaksi in-depth, perlu waktu yang banyak banget untuk ngerasa akrab, trust issue, lalu juga serba “apakah ada untungnya di aku?”.
Isu yang kutemukan di buku tersebut yang masih terjadi sampai sekarang adalah keserakahan perusahaan dalam mencari keuntungan. Segala cara dibolehkan, suap sana-sini, dan kerusakan alam besar-besaran. Aku teringat perdebatan di twitter, tentang perdebatan beralih dari kantung plastic ke kain, yang dikritik juga, karena langkah tersebut sudah cukup terlambat dan kelewat nggak efektif. Sumbangan oleh perusahaan-perusaahaan tersebut jauh lebih banyak dan perlu upaya dari “atas”.
Monoteisme — Sebenarnya, Parang Jati (maupun Sandi Yuda), nggak masalah dengan pemeluk monoteis, yang menjadi masalah adalah pemeluk monoteis (kebetulan yang berinteraksi dengan mereka) merasa paling benar, merasa kebenaran hanya pada ajaran tertentu, yang lainnya menyesatkan dan kebiasaan mereka mengkafirkan seenaknya, merasa paling benar, sifat fanatis, keos atas nama Tuhan, jual-beli agama. and so on. Waktu aku membaca Bilangan Fu bertepatan dengan maraknya berita pawang hujan wkwk, dan dibahas juga di Bilangan Fu…aku merasa begitu dekat, meskipun sebenarnya buku ini untuk mengkritik masa reformasi.
Militerisme — ADUUUH aku misuh banget yang ini, jancukkkkkkk, kekuasaan sewenang-wenang, kepentingan pribadi, ketidakadilan, ongkang-ongkang gak jelas. Banyak kan sekarang mulai muncul di permukaan tentang bobroknya mereka dalam menyelesaikan masalah. Begitu juga dengan show off “berseragam” yang nggak jelas banget itu.
Kalau menurutku, 3M ini sebnernya memiliki keterkaitan di “diri sendiri di atas orang lain”. Sikap merasa lebih unggul dan kehausan akan puncak. Padahal sih mana ada orang yang “terbaik”?
Ketiga topik tsb dikemas dalam perjalanan asik Sandi Yuda yang terlibat dalam misteri “Bilangan Fu”dengan Parang Jati, sehingga perlahan POV Sandi Yuda akan berubah mengenai hidup ini. (Begitu juga aku).
Ayu Utami mengemasnya dengan nggak berat ternyata, makin banyak halaman yang aku baca, makin seru. Seperti yang kubilang, aku merasa begitu dekat dengan perjalanan di buku ini, meskipun aku tidak mengalaminya secara langsung di masa itu, tetapi bahkan hingga kini masih ada.
Selanjutnya, hubungan Sandi Yuda-Parang Jati inii hubungan platonis yang sangat indah, beneran. Begitu pula dengan Sandi Yuda-Marja-Parang Jati, Marja ngga sekadar biar ada “romantisme”, tetapi romantisme itu sendiri turut menjadi perjalanan. Bukan hanya bumbu. Bukan romantis yang akan sangat drama ya, nggak gituuu. Mereka saling membersamai dan terikat satu sama lain. Sudah saling mengerti. Oiya, Marja ini pacar Sandi Yuda.
Mengenai Parang Jati; aku menyebut ia sebagai kasmaran fiksi kedua. Parang Jati adalah sisi bijaksana dari manusia. He has a very meaningful journey as a person. definitely a mankind I aspire to be (or to have PLSSSS). Dia sedang menempuh kuliah di Geologi-ITB, selain itu kesibukannya juga “bergerak” untuk menjaga lingkungannya biar ngga dirusak oleh manusia-manusia serakah penganut 3M tadi.
Aku speechless banget waktu bagian menjelaskan perjalanan hidupnya Parang Jati…gila ya…bisa-bisanya….
Paling ngena di aku adalah, sewaktu sadar kalau emang manusia itu nggak ada yang sempurna, tetapi bukan berarti cacat. Dan nggak ada satu manusia pun pantas dipandang rendah. Di sini, egoku (yang digambarkan oleh Sandi Yuda), kata Parang Jati, tendensi untuk terlihat selalu sempurna, selalu kuat, selalu baik, itu hadir karena kita membikin garis. Ya, garis yang memisahkan ada yang baik ada yang buruk, ada yang tinggi ada yang rendah, ada yang suka ada yang benci.
Kasmaran fiksi keduaku ini, aku bingung juga, Parang Jati atau Sandi Yuda? Sandi Yuda seperti aku melihat sebagian diriku, Parang Jati seperti harapan aku akan memiliki kebijaksanaan seperti dirinya. Yang tentunya meraih hal tersebut adalah lifelong journey.
TAPI BENERAN KALAU ADA PARANG JATI ada IN A PERSONNNN, pengen peluk anjirrr (bukan muhrim tapi), aku nangis dikit di bagian xxxxx (kamu harus baca sendiri).