Catatan Perjalanan — Titik Temu, Halaman Sua (Jogja Pt.2)

f.
18 min readSep 10, 2023

--

Katanya nggak ada yang kebetulan di dunia ini, termasuk siapa-siapa yang kita temui hari ini. Titik temu ruang dan waktu yang persis sama, di antara probabilitas banding tujuh milliar manusia. Kalau Catatan Perjalanan bagian pertama kemarin lebih general, menurutku pada bagian ini akan lebih personal karena aku spesifik menceritakan dan merayakan pertemuan-pertemuan.

Aku pernah ikutan open trip, pernah juga ikutan walking tour, pernah juga janjian sama temen, lalu sesimpel perkuliahan sehari-hari, yang kini mulai aktif lagi. Persamaannya adalah ada meeting point. Ketemunya di mana? di titik temu. Jam berapa? Kapan? Sampai hal mendetail seperti dress code kadang. Intinya, pada ruang dan waktu yang sama, kita bertemu.

00

Di titik-titik temu selama vakansiku kemarin, tanpa direncanakan, interaksi-interaksi beyond ekspektasiku terbangun.

Aku insert link daftar putar untuk baca tulisan ini.

https://open.spotify.com/playlist/47S4eDprG19H0TsffUEdgS?si=532b71cec9d74d0a

Titik Temu #1 — Kedai Rukun (Dilarang Berantem, OK? OK.)

Aku sudah familier dengan Kedai Rukun karena sering muncul di story Instagram Rara Sekar dan Ben Laksana. Kedai Rukun sudah jadi wish list-ku juga, tapi sangsi karena prinsipku soal makanan itu ya dekat sama destinasi-destinasiku, mengingat aku ga ada kendaraan pribadi.

Nah, di malam keempat kan aku nginep kosnya Nana, ternyata, jaraknya cuma satu kiloan dari Kedai Rukun. Karena sudah boncos dan nggak tau makan apa, lihatlah menu di Kedai Rukun yang masih masuk akal banget harganya. Kami lalu mengajak Reyga, teman SMP yang lagi balik Jogja dari magang di Jakarta untuk ketemuan di Kedai Rukun. Tiba-tiba ngajak gini siapa sih yang berekspektasi kalau Reyga bakal oke? Tapi oke tuhh kami janjian jam 7.

Lebih mantap lagi adalah, Kedai Rukun cuma tinggal loncat dari tempat magang pacarnya Nana, jadi Nana bilang dia bisa sering-sering ke sana.

Titik Temu #1

Aku terakhir ketemu Reyga kayaknya waktu buka bersama SMP deh, atau bahkan lebih lama dari itu, waktu kelulusan SMP. Kami bertiga ngobrol sambil makan harang asem, mangut lele, dan sapi (menu yang dipesan Nana tapi aku lupa namanya). Semacam lagi di rumah temen aja yang masuk ke dalam gang dan Kedai Rukun ini rumahan banget. Di sini ga sedia parkir mobil.

Bahasannya dimulai dari berkabar sampai banding-bandingin harga kebutuhan antarkota. Keluhan-keluhan kuliah, UKT mahal, dan gibahin teman-teman (MAAAF WKWKKW). Dibanding hal serius, kami lebih banyak ketawanya sih dan hal itu ternyata yang juga sedang aku butuhkan. Obrolan yang ga serius-serius amat tapi tetap seru bareng teman yang udah lama nggak ketemu.

Titik Temu #2 — Kotagede

Aku ingin mencoba pengalaman walking tour seperti yang biasa kuikuti di Surabaya di Jogja juga. Jadi, akhirnya memutuskan untuk ikutan walking tour rutenya Kotagede. Konsepnya pay as you wish di akhir setelah selesai jalan bareng. Nana mau-mau aja untuk ikut. Jalan dimulai pukul 8.30, aku dan Nana sempat nyasar ke gang yang gak bisa dilalui motor. Kami mentok di gang buntu. Bahkan sebelum mulai jalan pun udah ada-ada aja….

Titik Temu #2

Tapi beneran, jalanan menuju ke meeting point kemarin udah eye pleasing banget. Cantikk, Kotagede masih bertahan sama kelawasannya dan pegang nilai historisnya karena dulu kawasan ini adalah ibukota Mataram Islam. Sampai di meeting point, yaitu di parkiran Makam Raja-Raja Mataram Kotagede, kenalanlah dengan orang-orang yang juga ikutan rute kali ini. Kami total ber-7 + 1 storyteller.

Kalau ikutan walking tour, sepanjang perjalanan akan ada momen ngobrol sama orang-orang yang bersama kita dalam satu rute sambil dengerin cerita, baik dari segi historis, budaya, ataupun arsitektur yang kalau dipikir-pikir meskipun zamannya udah lampau, maknanya masih eksis hingga sekarang.

Biasanya untuk pembuka percakapan, seperti alasan kenapa mereka ada di Jogja saat itu atau kenapa kok ikutan walking tour? Obrolan setelahnya ya mengalir gitu aja diselingi jokes receh. Kamu at least harus coba walking tour sama Nana deh wkwkw dia bisa gituu mencairkan suasana.

Waktu telusur pasar, kami menemui ibu-ibu penjual jamu, mereka berjajar tiga dan saudaraan. Jamu yang dijual jamu peras dan diminum di mangkok bentuk batok kelapa. Kami mampir dulu untuk minum jamu. Pembuatannya depan mata, jadi kita lihat proses acarakinya meramu jamu. Jamunya tuh jamu kalau istilahnya Mbak Asri Murakabi, “jamu serius”. Nana coba campuran beras kencur dan kunir asem, rasanya ada nyengat di tenggorokan, pedes gitu wak dan after effect-nya bikin hangat.

Ada satu gang yang menarik bagiku. Gang itu dijuluki Gang Kerukunan. Disebut begitu karena tiga alasan, yaitu adanya bangku tempel depan rumah untuk kongkow dan percepatan informasi, nggak boleh menyalakan motor apalagi klakson ketika melalui gang itu, dan antar bangunan dipisahkan dengan satu pintu, jadi macam shortcut kalau mau minta teh atau gula ke tetangga. Rukun banget ga tuh karena dulu gaada ponsel.

Di tengah dunia yang lagi cepet-cepetan, rawan kesepian karena jalan sendirian, dan ga kenal-kenal banget sama budaya sendiri, bisa juga ikutan walking tour untuk jalan bareng ngobrol sama strangers sembari diceritain.

Kemarin saat sudah usai, beberapa mampir untuk makan bareng, tapi aku sama Nana nggak ikutan, kami milih makan di Sop Ayam Pak Min. that’s what I like about talking with strangers. you’re just….talk the talk and that’s that.

Titik Temu #3 — Jendela Titilaras

Hari itu hari terakhir vakansiku. Aku sama Nana impromptu ke Solo subuh-subuh beli tiket KRL terus nunda berangkat sampai jam 10-an. Kami akhirnya berangkat dengan antrean yang panjang baaaaanget karena hari Sabtu. Pengalaman pertama naik KRL dan kocak banget men waktu pintu KRL-nya kebuka udah kayak perang berlomba-lomba biar bisa duduk.

Salah satu tujuanku adalah mau ke Titilaras yang Alhamdulillah-nya buka. Titilaras ini nggak ada jam pastinya, jadi kamu harus mantengin laman Instagram mereka. Berbeda dengan kedai-kedai kebanyakan yang promosi tentang mereka sendiri, Titilaras memutuskan untuk bercerita di laman Instagram-nya. Itulah salah satu hal tentang Titilaras yang atraktif menurutku. Salah satu dan yang paling menarik lainnya adalah, KONSEP (ya, lagi-lagi ini).

Titik Temu #3

Kedai teh dan kopi kecil di Pasar Gede, satu bangunan sama UmaYumcha pokoknya. Tinggal masuk aja lalu akan lihat jendela-jendela dengan dua bangku masing-masingnya. Lalu ini bagian paling kerennya. Mas Arkha akan datangi satu-satu “tamu” yang duduk di balik jendela Titilaras. Ya, satu-satu. Menunya ngga terpampang, jadi beliau akan jelaskan satu-satu dan kamu bisa tanya-tanya. Sayangnya aku nggak bisa duduk di jendela Titilaras lama-lama karena ada jadwal potosyut…..(photobox Pasar Gede lupa namanya, yang cari Nana). Tapi untungnya masih sempet lihat dan mengabadikan tehku yang lagi dibikin.

Untuk tehnya, aku pilih teh dingin karena Agustus di Solo saat itu panas-panasnya, PASAR GEDE PUANAS dan potensi aku sama Nana jalan kaki ke tempat selanjutnya melewati jalanan siang-siang jadi,,,,,panas. Aku pesan Sukaria. Base-nya adalah teh hitam, terus campurannya aku ga terlalu inget, tapi kalau ga salah ada kawistanya. Rasa yang timbul kompleks sih. Awalnya segar dan asam, terus muncul pahit, habis itu sampai di tenggorokan aku ngerasain kayak minum beras kencur, ada pedes-pedesnya. Sangat amat menyegarkan di tengah teriknya hari. Senang rasanya bisa singgah bentar di Jendela Titilaras.

Ada satu lagi yang mau kuceritakan. Setelah kami berhasil sampai Stasiun Tugu jam setengah 7 malam, waktu turun dari stasiun tau ga kenapa? Motornya Nana gaada di tempat terakhir kita parkir (depan stasiun) dan juru parkirnya juga seperti nggak tahu apa-apa. Panik part 1. Ini ceroboh emang karena nggak parkir resmi dalam stasiun karena kita berangkatnya mepet pol.

Bapak parkirnya arahin kita untuk ke dalem. Aku sama Nana oke-oke aja karena emang tadi bilangnya motornya akan ditempatin ke parkiran yang aman buat ditinggal sampai maghrib. Waktu masuk, kita justru berada di tempat parkir resmi yang bertingkat itu dan saat tanya ke juru parkir yang resmi, jelas mereka nggak tahu karena kita nggak parkir di situ. Panik part. 2.

Part 3-nya apa? Satu tongkrongan bapak-mas parkiran gaada yang tahu motornya Nana di mana, dan udah berkali-kali nyalakan fitur remote biar dia bunyi gaada tu yang nongol. Aku rasanya mau marah banget sama bapaknya karena kok bisa ektinggg ga tau padahal ya orang-orang situ yang markirin, nah ternyata, mereka ini ada shift-nya. DAN INI PART PALING KEONG bagiku. Aku nggak paham deh gimana organisasinya bapak-bapak parkir ini, intinya Nana jalan agak jauhan, terus nemu mas-mas lagi ngarahin parkir dan dia tanya ke beliau, terus itu motor ketemu. Diparkirin di Alfamart agak jauh:))))))))))))))))))))). Kayaknya lain kali aku sama Nana ngefoto aja siapa mas/pak yang markirin. Aku ingetnya cuma wajahnya dan berkaos item….tentu ciri-ciri yang ga banyak membantu yah….Bapak yang markirin motor kita itu kayaknya afiliasinya sama mas-mas ini. Kalau bapak yang hampir bikin aku marah tadi beda lagi…..maaf….untung ga jadi marah-marah ya :)

Alhamdulillah banget motornya ngga dibawa lari (aku negative thinking sih tapi …kalau negative thinking sambil emosi aku dan Nana gaakan mikir jernih dan mikirin opsi lain: jalan lebih jauh siapa tau nemu orangnya).

Kalau mau aman dan ga jantungan, parkir resmi aja fren. :) Tapi kami dapet harganya murah banget…cuma 5 ribu dari pagi sampai maghrib….ya minusnya adalah jantungan dulu dan panik dulu. Dalam keadaan yang masih setengah ngawang, kita ke lokasi terakhir: Kedai Terang Bintang di Pasar Kranggan.

Titik Temu #4 — Minggir di Minggir

Hari ulang tahunku tahun ini, yaitu hari ketiga aku di Jogja, aku sengaja untuk minggir di Minggir. Sendirian. Agendaku hari itu adalah aku mau sepedaan bareng @/jalan.bike dan makan di Murakabi Minggir. Agak PR yah agaknya kalau nggak bawa motor. Jadinya aku harus pakai ojol PP Prawirotaman-Minggir. Awalnya, aku mau berangkat pagi karena Murakabi udah buka dan nggak terlalu panas. Tapi, jadinya, setelah aku jalan pagi ke Pasar Pujokusuman dan makan jenang gempol (Catatan Perjalanan 1), ngantuk berat. Aku baru berangkat pukul satu siang.

Waktu dapet mas-mas ojol, beliau sampai mastiin apakah benar tujuannya ke Minggir? Karena 50 menitan…..dan ini panas banget. Untungnya, mas-mas ojolnya talkative jadi ga bosen-bosen amat. Kata dia kita touring HAHAHA. Cerita saat di Murakabi bisa kamu lihat di Catatan Perjalanan 1.

Aku sudah janjian dengan tourbike (mereka menyebutnya teman perjalanan sepeda) di Murakabi. Sebenarnya meeting point-nya bukan di sana, melainkan 800 m dari Murakabi. Tapi waktu aku DM, mereka mau jemput di Murakabi jam 3 sore. Alhamdulillah.

Nah, waktu masih menikmati nasi kecombrangku, aku di-chat oleh jalan.bike kalau hari ini yang ikutan sepedaan cuma aku, jadi seperti private session dan bisa santai aja. Aku jujur kaget dan langsung “????” tapi senang sih karena aku lebih suka juga kalau sepedaan ga banyak orang.

Waktu menunjukkan pukul 3, tourbike datang. Namanya Mas Sheno. Terus kenalan bentar duduk di Murakabi, lantas ke meeting point yang sesungguhnya. Ternyata tempat itu adalah rumah warga yang kerja sama dengan jalan.bike untuk menitipkan sepedanya. Sepeda yang mereka punya cantik sekali ada keranjang custom warna coklat di depan untuk menaruh barang-barang kita dan warnanya pun cantikk, sudah dimodif dengan tulisan “jalan.bike”.

Spot pertama yang dituju adalah sungai yang masuk-masuk ke pepohonan. Sungai kecil ini banyak batunya dengan arus tenang dan biasanya kalau airnya lagi jernih, kita akan diajak untuk menyusun batu, namanya rock balancing. Sayangnya saat itu air sungai lagi keruh. Kata masnya kalau keruh berarti daerah utara Jogja sedang hujan. Bener aja waktu aku lihat pancuran airnya, tampak jernih bangeet. Menyusun batu ini filosofinya kalau misal nyusunnya sambil grasa-grusu gaakan bisa tersusun. Instead, dia akan roboh terus menerus. Di sungai ini, simbah-simbah biasa mandi dan cuci baju. Apa berarti rumahnya belum ada toilet? Nggak kok, mereka ada toilet tapi mungkin emang sudah kebiasaan aja jadi kadang kalau ingin, ya mandi di sungai. Ini sudah sangat jarang kutemui di Nganjuk (APALAGI SURABAYA).

Lalu dilanjutkan dengan melewati rumah-rumah warga lokal sambil menyapa dan disapa, pemandangannya cantik, sungai, pohon, sawah, dan bukit menoreh di kejauhan. Rumah-rumahnya menurutku masih punya ciri khas masing-masing, nggak monoton kayak perumahan biasanya. Matahari pada waktu itu sudah nggak terlalu terik, cenderung hangat. Asiknya lagi adalah sepi nggak banyak kendaraan dan banyak pohonnya! makanya adem dan bisa dibuat bersepeda bahkan beberapa kali aku lawan jalur juga aman……

Sehabis melewati jalan-jalan dengan tanjakan dan turunannya, kami sampai di Angkringan untuk makan jajan with a view. Terbentang sawah luas dengan warga yang masih bekerja. Di sini, kami ngobrol tentang keseharian. Mas Sheno bukan asli Jogja. Dia merantau dan Minggir jadi pilihannya. Karena bukan area kampus atau pertokoan, susah dong untuk cari kontrakan atau kos-kosan? Kuncinya adalah melalui relasi yang terbangun dengan warga sekitar. Ketika sudah memperoleh kepercayaan, dapatlah kontrakan. Menurutnya, hidup di desa ini membuatnya jadi rajin srawung bareng warga.

Di momen ini aku mikir, banyak juga ya hal-hal di sekitarku yang I’ve taken it for granted. Nganjuk misalnya, sawah tuh masih ada meskipun kini udah mulai masuk-masuk pabrik, warga yang srawung juga ada banget, tapi akunya yang jarang keluar karena males. Makanan lokal? Budaya? Ada kok, tapi aku yang belum mulai mengenalnya.

Selanjutnya, kami melalui Selokan Mataram, yang berada di sebelah jalan dan sebelah sawah. Masih di air sungai yang mengalir ke Selokan Mataram, anak-anak dan remaja renang-renang di sana. Emang airnya jernih banget, sih. Nampaknya bahagia sekali masih bisa menikmati air yang jernit ituu sembari menyaksikan matahari yang hampir tenggelam, angin sepoi-sepoi, dan kumpul bareng kawan.

Selain Selokan Mataram, kami juga melewati Selokan Van Der Wijck. Air yang mengalir di keduanya lah yang memberi kehidupan warga sekitar yang mayoritasnya menjadi petani, peternak, dan perkebunan. Awalnya aku heran, mana selokannya? Kok gak dalem air? ternyata, Selokan Van Der Wijck dibangun di atas permukaan jalan maupun sungai itu sendiri. Jadi macam tembok besar dengan membentuk terowongan untuk dilalui kendaraan. Airnya masuk melalui tembok-tembok itu, baru kelihatan waktu aku jinjit dari sepeda. Ini disebut juga Buk Renteng.

GA NGEFOTOOO JADI SS DARI VIDEO

Sepedaan ini berlangsung sampai matahari benar-benar tenggelam. Aku menyaksikan matahari tenggelam di Watu Jagal. Kayak sunset viewpoint-nya. Full bengong aja sih. Aku beneran duduk, nontonin matahari, sambil play lagu The Most Beautiful Thing (Bruno Major), Call It Fate, Call It Karma (The Strokes), Here, There, and Everywhere (The Beatles), dan Walk You Home (NCT Dream). Empat lagu itu yang beberapa kali kuulang, sampai mataharinya beneran tenggelam. Dari yang bulet merah sampai sisa langit pink. Lupa deh aku mikirin apa aja, yang pasti salah satunya adalah, betapa waktu cepat sekali berlalu ya wkwkkw. Masa aku udah ulang tahun lagi, udah di Jogja lagi, udah Agustus lagi.

Dalam kalender Islam dan Jawa, pergantian hari itu waktu matahari terbenam. Anggaplah aku lagi pakai kalender itu, artinya berakhir pula “hari lahir”-ku, tepat ketika sepedaan ini di pemberhentian terakhir. Di sini pula, tourbike akan memberi cinderamata, berupa dompet tempat uang atau kartu-kartu dari anyaman, maka bisa dibilang cinderamata jalan.bike ini “kado” pertama di akhir hari itu. Tapi, bisa dibilang keseluruhan perjalanan kali ini kado dariku untukku sendiri, dan aku menyukainya. (tentunya terima kasih untuk orang tua dan kakakku sudah acc proposal liburanku).

Perjalanan sampai kembali ke meeting point sudah maghrib, hari sudah gelap, dan Minggir sudah sepi. Sembari nunggu ojol pesananku tiba, yang surprisingly ADA, aku ngobrol-ngobrol dengan Bapak dan Ibu yang tinggal di rumah itu dan Mas Sheno. Nah, ini lapisan dari diriku yang baru muncul saat itu. Aku ga awkward loh ternyata waktu ngobrol sama completely strangers dalam waktu yang cukup lama dan obrolannya bukan basa-basi aja.

Keputusan untuk minggir ke Minggir diketawain habis-habisan waktu kuceritakan ke Nana dan Reyga. Ya bayangin aja, kamu milih di hari ulang tahunmu ke pinggir kota, kamu sendirian, gaada kendaraan, terus pake ojol PP per jalan 50 menit, buat sepedaan dan makan nasgor kecombrang sambil minum kombucha aja, tambah berdua aja bareng sama orang asing. Tapi jangan khawatir, awal mungkin canggung, tapi seiring dengan topik yang ngalir, ya akan ngoceh kok. Nggak setiap waktu juga tapii. Tourbike dari jalan.bike seperti namanya, teman perjalanan sepeda, bertindak beneran kayak temenin kamu sepedaan. Nggak melulu ngobrol, tapi juga biarin kamu bengong dan diem aja, seperti waktu di Watu Jagal nonton sunset. Aku beneran menikmati waktu bengongku di sana. Shout out buat jalan.bike dan Mas Sheno yang jadi tourbike-ku hari itu. Mana foto dan videonya bagus-bagus lagi.

Titik Temu #5 — Alih Pawon dan Meja Ajaib Bhumi Bhuvana

Kilas balik waktu aku cari itinerary tempat-tempat mana aja untuk aku kunjungi di Jogja, Bhumi Bhuvana bukan tujuan utama. Aku bahkan baru dengar tentang Bhumi Bhuvana dekat-dekat waktu keberangkatanku di Jogja. Aku juga belum terlalu mengenal konsep yang diusung Bhumi Bhuvana. Yang bikin aku tertarik untuk menelusurinya adalah namanya cantik dan profile picture Instagram-nya lucu, seperti rumah honai. Baru kemudian kuketahui bahwa kalau diperbesar akan kelihatan kalau dilingkupi kucing. Kucing tersebut adalah tuan rumah BhuBhu, namanya Kokom, kependekan dari Kombucha. Ibu dari Kokom adalah Kak Bukhi. Di BhuBhu inilah Kak Bukhi dan Kokom tinggal sekaligus merangkap toko kelontong dan yang aku bahas berikutnya, meja ajaib.

Dari tag-tag-an akun Instagram-nya, kuketahui kalau BhuBhu ini ruang untuk all you can eat and all you can talk. Aku tertarik banget dengan experience itu, bisa makan dan ngobrol seperti di meja makan sendiri. Mungkin kedengarannya gabut banget, ngapain sampai ke Jogja kalau cari yang begituan? Tapi aku udah telanjur penasaran banget. Kapan lagi coba bisa makan makanan yang ga biasa sehari-hari dan ketemu orang random dalam satu meja. Meja itu dinamakan Magic Table. Akan kuceritakan nanti kenapa dia ajaib. Akhirnya aku beranikan diri untuk chat si Bhubhu, yang adminnya adalah kucing, namanya Kokom. Kutanya, apa ada jadwal di Agustus ini di sini aku mikir kalau tanggalnya pas sama rencanaku, ya emang jodoh. Alhamdulillah iya men, jodoh.

Tanggal 22 Agustus BhuBhu mengadakan Alih Pawon makanan Batusangkar. Tepat hari pertama dan tujuan pertamaku di Jogja. Dari tempatku menginap hanya tinggal jalan kaki sekitar 5 menit saja. Jalanan Prawirotaman artsy banget, banyak mural di sepanjang gang yang kulewati menuju BhuBhu. Dari luar, BhuBhu dilingkupi tanaman bunga telang dan tanaman-tanaman lain yang nggak kuketahui namanya. Rimbun banget sampai membentuk pintu kecil untuk menuju pintu masuk BhuBhu.

Untuk sesi Alih Pawon kali ini dibawakan oleh Kak Rivani, untuk menghadirkan kembali “meja makan” di rumahnya saat pagi. Menunya adalah nasi pican sipadeh, godok tapai, dan lopis singkong. Asing banget kedengarannya karena khazanah makanan nusantaraku belum sediversitas itu. Di sini kami dibagi tugas, di antaranya ada yang masak nasi, masak serundeng, dan potong singkong. Semua dilakukan di dapur yang letaknya persis setelah BhuBhu menampilkan apa-apa yang dijual di toko kelontongnya. Rasanya kayak di rumah ya bisa main ke dapur.

Saat motong-motong singkong, Kak Firda jarinya kena pisau. Lalu sama Kak Bukhi diberi kulit kunyit. Sebuah kearifan lokal yang lagi-lagi baru kuketahui kalau si kunyit ini bisa untuk wound healing. Keren dah.

Aku bersama tiga orang lainnya bagian masuk-masukin singkong yang sudah dipotong ke dalam lipatan daun pisang untuk kemudian dikukus. Sebelum itu, di antara kami nggak ada yang tau gimana melipat daun pisang itu biar bentuknya segitiga (kerucut), pun nggak tahu juga keyword untuk dicari di google gimana. Kak Bukhi datang dengan Mustika Rasa, buku resep masakan nusantara yang tebel banget itu dan buka bagian tutorial melipat daun…. (tentu judulnya nggak gini). Aku langsung wah, bahkan pikiran yang muncul pertama kali di aku kalau mentok nggak tahu sesuatu ya googling. Sembari bergotong royong, Kak Bukhi juga membuka kombucha nanas untuk kami. Enak banget seger banget.

Setelah itu, kami diajak ngramban daun mangkok di gang yang ternyata kulewati saat berangkat tadi. Daun mangkok itu milik tetangganya Kak Bukhi, dia cerita kalau saat sesi jalan kakinya menuju halte TransJogja, sekalian jadi mengamati rumah tetangga, jadi bisa tau kalau butuh sesuatu bisa pergi ke mana. Daun mangkok ini nantinya dijadikan satu dengan serundeng untuk nasi pican sipadeh.

Masak pun berlanjut. Last touch-nya adalah, rempah-rempah dari serundeng, daun jeruk nipis, kecombrang, serai, dengan potongan-potongan kecil ikan asin dan aku lupa apalagi, itu dicampurkan ke nasi. Lalu nasinya dibentuk tumpeng wkwkwk lucu banget karena ada 2 orang di antara kami yang lagi ulang tahun sebelumnya. Di sekitar tumpeng tersaji sayur-sayuran. Disajikan pula godok tapai yang merupakan tape digoreng dengan minumnya kombucha nanas lagii dan air putih.

Acara potong tumpeng yang ga direncanakan ini pun juga dilakukan sesuai sama step-step yang bener, yang selama ini aku nggak tau masaa. Jadi yang motong yang punya hajat, bagian tumpeng yang dipotong ternyata harusnya bukan puncaknya, melainkan bagian bawahnya, lalu tumpeng tersebut potongan pertama tersebut diberikan ke yang paling muda, saat itu adalah aku.

Sungguhan rasanya awalnya kukira bakalan mirip pecel kan tampilannya gitu ya, ternyata engga. Enak banget, aromatik, makan nasinya tok sudah enak banget. Seger dari rempah-rempah yang dicampur, si kecombrang, terus dimakan bareng dengan sayurnya. Godok tapainya juga enakkk siih, tape ditepungin lalu digoreng. Tepungnya dari tepung mokaf, salah satu yang dijual di Bhumi Bhuvana. Untuk lopis singkongnya, ini beda dengan lopis di cenil-cenil itu. Lopis singkong ada dalam bentuk singkong dipotong balok, dimasukkan dalam daun pisang untuk dikukus, lalu dimakan bareng saus gula merah.

Waktu makan-makan sudah selesai, apa lantas pertemuan di sini selesai pula? Enggak. Kami berlanjut ngobrol di meja makan depan dapur tadi. Dari yang ngobrol basic sampai pertanyaan pemantik dari Mas Byan untukku, Nadja, dan Faza yang masih berkuliah tentang seberapa optimis memandang hidup dan juga, seberapa optimis akan cinta? :DDDDD Kamu jawab sendiri aja dalam hati. Di meja itu, mayoritas sudah lulus kuliah dan hidupnya lebih lama di dunia ini dibanding kami bertiga.

Obrolan makin dalam, dari mulai apa yang bikin bahagia? Apa yang bikin sedih? Apa hal paling effort yang pernah dilakukan buat seseorang? Kami di sana cerita-cerita aja, rasanya hangat. Aku mendadak berani untuk berbagi kisah ke orang-orang inii. Ditambah dengan sesi minum teh, nama tehnya medidatea. Katanya teh itu untuk membuka sesi meditasi dan Mas Byan memandu kami untuk melakukannya. Duh, bagian ini aku nggak ingin menceritakannya detail karena kamu harus ngerasain sendiri :’)

Beberapa obrolan yang masih kuingat, yaitu

Kalau kamu resah akan sesuatu terus-menerus, bisa jadi keresahan itulah tempat kamu “terpanggil”

Cinta itu ketika kamu rela memberikan nyamanmu untuk nyamannya orang lain

Kalau ingin membentuk/berkumpul di “ruang” sesuai apa yang kamu mau, jadilah seperti itu dulu. Mulainya tetap dari diri sendiri.

Kamu dikatakan sudah sembuh waktu kamu bisa walk down the memory lane dan kamu cuma jadi penonton.

Terus diakhiri dengan makan es krim huma ide rasa kecombrang, bunga telang, dan lotus bisschof. Sebagai tanda hari terakhir Kak Rivani di Jogja. Oiya, bahkan sampai akhir tetep gotong royong untuk cuci piring dan merapikan kursii.

Setelah sesi itu selesai, waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, beberapa mulai pulang, tetapi beberapa tinggal, salah satunya aku. Masih ajaa ngobrol di meja itu. Dari mulai rekomendasi lokasi di Jogja, alasan masing-masing kenapa kok bisa sampai ada di BhuBhu dan di Jogja, sampai ke bahasan tentang human design. Versi lebih rumitnya dari astrologi. Meskipun pseudoscience tapi seruuu seperti mretelin diri sendiri wkwkkw karena somehow resonate. Kayak weton-wetonan gitu juga gak sih? Seru bacainnya sekalipun gabisa dipercaya 100%, tapi rasanya seperti “menantang” pengetahuanku akan diriku sendiri. Obrolan berlanjut sampai tengah malam :) Gak bosen sama sekali. Jendela di samping meja makan masih terbuka, di situlah relasi antara apa yang terjadi di Bhumi Bhuvana dengan di luar jendela terbangun.

Bhuvi Bhuvana berakhir nggak hanya sekadar itinerary ternyata, lebih dari itu. Jauuuh lebih dari itu. Ruang yang hangat di BhuBhu, meja yang ajaibnya mempertemukan manusia-manusia keren ini bertemu denganku, dan bahan-bahan lokal yang memenuhi rak BhuBhu, tempat mungil yang bagiku seperti pulang sebentar yang nyaman. Hari pertamaku di Jogja, aku merasa “penuh” dan “cukup”.

Terima kasih untuk Kak Bukhi dan Kokom sudah membentuk si meja ajaib dan BhuBhu. Kak Rivani dengan menu yang dibawakannya, Mas Byan akan sesi reflektifnya (kamu bisa cek Instagram beliau, sungguh insightful), Kak Ryani untuk sesi human design dan astrologi yang bikin ngrasa kayak didengerin, Kak Echa untuk rekomendasi tempat-tempat asiknya, Kak Lintang dan Kak Firdha yang menyadarkanku untuk doain seluruh beings yang ada di semesta ini nggak cuma manusia, tapi juga makhluk hidup lainnya dan alam, Untuk Nadja, Faza, dan Kak Lia yang jadi bukti untuk optimis aja sihhh akan cinta, gaada yang salah dari mencintai dan dicintai asalkan resiprokal.

Pengalaman baru buatku, berkumpul di meja makan dengan orang yang baru kukenal, tapi sudah percaya untuk saling cerita, dan merasa didengarkan tanpa dihakimi.

Bahagia tentu bukan sebuah kata yang bisa ngerangkum, bahkan sampai sekarang pun aku gatau satu kata yang bisa ngerangkum apa, mungkin “cukup” atau “pas” atau “penuh” atau… “tenang”. Ya, apa saja.

Kak Lintang bilang, jodoh itu ngga selalu tentang siapa orang yang akan jadi partner hidupmu, tapi juga tentang seseorang yang kamu temui di perjalanan-perjalanan, tempat-tempat yang kamu kunjungi, dan kesempatan-kesempatan yang kamu lalui.

Aku senang bisa berjodoh dengan orang-orang, ruang, waktu, dan kesempatan yang sudah kulalui di Jogja.

May all beings be happy,

May all beings be prospered

May all beings be liberated.

Sampai bertemu lagi kapan-kapan :)

— — —

10/09/2023

Sincerely,

F.

--

--

f.
f.

Responses (1)