Agustus menjadi bulan berakhirnya semester genap dan mulainya libur. Ide Annual August Trip jelas adanya karena hanya itu libur yang leluasa sebelum memulai semester baru. Agustus ini pertama kalinya aku melakukan perjalanan sendiri, kerap dikenal dengan solo traveling.
Dan seperti yang kucantumkan di catatan-catatan perjalanan sebelumnya, tiap perjalanan selalu jadi sarana mengenal aku, tetapi perjalanan kali ini rasanya berbeda. Mungkin karena pertama kalinya solo travel, mungkin karena aku lagi ilang tahun, mungkin karena aku craved for mengenal aku karena lama merasa lagi krisis identitas dan major change? (lagi-lagi) dan menuntut pengetahuanku sendiri akan aku, akan sekitarku, akan apa-apa yang kualami, akan apa yang ada di dunia ini. Yah yang terakhir masih jauh sih, karena skala terkecil dulu gak sih men????? gausah buru-buru.
Kota yang kutuju adalah Jogja, masih sama seperti tahun lalu. Kenapa? Karena yang dibolehin itu dan emang Jogja gaada habisnya untuk dikenal lebih dalam. Tujuanku kali ini awalnya adalah datengin toko buku independen satu-satu, tapi berakhir ga hanya tentang itu. Di bagian ini, aku menceritakan tiga cerita, tentang sastra, seni, dan rasa yang kualami di Jogja.
1.1 — Membangun Komun di Toko Buku Independen
Toko buku independen menurutku dibangun oleh orang-orang di dalamnya. Nilai-nilai yang mereka anut akan terpancar dari koleksi buku yang mereka tampilkan, terus biasanya small space yang keberlangsungannya itu dengan membangun komunitas di sana. Aku berhasil mengunjungi empat toko buku dan keempatnya menurutku sih beda dan inilah yang kusukai dari toko buku independen.
1.11— The Lucky Boomerang
Turun dari Stasiun Yogyakarta (Tugu), aku melipir ke Slasar Malioboro dan cek Instagram, taunya, The Lucky Boomerang update bahwa dia buka hari itu (Selasa jam 11), padahal di google bukanya hanya Jumat-Minggu. Masih dengan backpack yang agak kerasa berat itu, mumpung dekat dengan stasiun, aku jalan kaki menujunya.
Jalannya memang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki sih, gangnya kecil, motor harus mati, dan ada mural! Jogja banget kah ini?? Ternyata, sepanjang itu juga banyak menawarkan homestay dari rumah penduduk. Jadi asumsiku sih jelas lebih murah dari hotel.
Hanya perlu jalan sebentar, The Lucky Boomerang bisa kumasuki. Di sana dijaga oleh seorang ibu bernama Bu Wina. Waktu kutanya kok buka sedangkan di google tulisannya buka hanya Jumat-Minggu, kata ibunya sedang trial buka lebih sering.
The Lucky Boomerang ini hanya menjual buku impor. Nggak akan kamu temui buku berbahasa Indonesia di sini. Selain itu, juga menjual post card yang khas Jogja dan cinderamata. Rak-raknya nggak terlalu banyak, harganya fixed jadi gabisa ditawar, tapi fair kok.
DAN KONSEPNYA love banget. Jadi tiap buku yang kamu beli di sini akan ada tandanya (cap stempel), untuk kemudian kalau udah selesai kamu baca bisa ditukar tambah dengan buku lain atau kamu jual dengan harga 50% dari harga beli. Jadi memotivasi gak sih untuk selesaiin bukunya AHAHAHA biar ga numpuk di pojok kamar aja dan jadi alasan biar ke Jogja lagi!
1.12 — Boekoe Theotraphi
Ini sih kelihatan banget orang-orang di dalamnya minatnya ke mana. Udah tercantum juga dalam namanya, Theotraphi (theology, sastra, philosophy). Buku-buku itu lah yang akan kamu temui kalau ke sana. Theotraphi menyediakan ruang untuk ruang baca dan toko buku. Jadi ada buku-buku di sana yang emang untuk dibaca di tempat sembari duduk di selasar mereka. Dibilang bookcafe juga nggak terlalu.
Mereka menyediakan minuman yang bisa dibeli di Renaisansi, seriusan namanya unik-unik pakai nama-nama paham karena berakhiran — isme. Ada tuh menu namanya fetitisme.
Di sini, aku baca bukunya Dee Lestari yang Madre selama 2 jam dan dapat satu buku yang kubawa pulang. Semoga buku itu ga mendekam di pojokan deh. Aku selalu percaya kalau ada saatnya aku baca buku itu, kesannya kayak bikin excuse yah ahhaha tapi beneran.
Adem banget baca di sini. Lokasinya masuk dalam gang, tapi masih bisa dijangkau dengan kendaraan kok. Lagi-lagi small space dan orang di sana ramah baget terus bukunya diskon gede sih katakuu. Jauh lebih murah dari yang di e-commerce.
Waktu aku ke sini, pengunjung ga hanya baca buku, malah ada yang emang ngudud dan ngobrol ngalor-ngidul bareng temannya. Aku overheard :D. Seperti slogan yang mereka taruh di jendelanya, Theotraphi tidak hanya menjual buku, tetapi menyebarkan ilmu.
1.13 — Kebun Buku
Kebun Buku aku kunjungi waktu malam hari, sengaja biar sekalian makan malam karena Tukang Masak Partikelir masak setiap hari sekarang! Urusan perut harus kuselesaikan terlebih dahulu karena aku ke sana posisi laper banget. Aku pesan ayam kemangi. Dalam satu porsi sudah ada ayam dengan sambel kemangi, nasi ditabur nori, dan telur ceplok setengah matang. Minumnya aku pesan kombucha jahe madu.
Ayamnya dibalut sambel kemangi, yang mana kemanginya itu banyak bangettt sama rempah-rempahnya juga. Rempah dan kemanginya udah infused ke ayamnya jadi betulan AYAM RASA KEMANGI. Bestt. Telurnya setengah matang tapi nggak amis, nasi tabur norinya juga bikin makin kaya, campuran mereka no keasinan. Enak dan suka bangetbanget.
2.1 — Get Lost in ARTJOG
Kayak anak ilang ya Allaaah. Attention span-ku itu rendah dan terbukti waktu telusuri ARTJOG sendirian. Lantai satu masih oke, lantai dua mulai kerasa capek mata, lantai tiga banyak berhenti untuk berhenti. Istirahatkan mata dan kakiku kerasa gempornya.
ARTJOG selalu jadi tujuanku dan Alhamdulillah waktuku ke Jogja, ArtJog masih ada.
Tema kali ini bertajuk ARTJOG 2023 — Motif : Lamaran.
Istilah “motif” sebagai tajuk pameran digunakan untuk menghadirkan keanekaragaman khazanah visual yang selama ini dikerjakan oleh para seniman. Sedangkan kata “lamaran” merupakan upaya untuk lebih dekat pada penjelajahan berbagai bahasa motif dan cara para seniman mengerjakannya. Lamaran kepada para seniman adalah bentuk apresiasi kepada motif-motif kreatif yang mereka tempuh selama ini.
Begitu yang kukutip dari website ARTJOG.
Pesan yang sampai di aku adalah tahun ini instalasi seninya banyak yang creepy jujur…..tentang eksistensi selain manusia dan ini sih nggak seharusnya creepy, yaitu tentang kematian. Tapi tentunya beragam yah dan nggak hanya tentang personal, tapi juga isu sosial. Aku paling suka instalasi yang color blind itu sih. Jadi kayaka ada ring tinju yang diselimuti ala-ala ishihara test buat buta warna membentuk kata semacam bullying, rasis, diskriminasi, lalu bisa ditinju! Jadi sih seperti kita melawan bareng-bareng isu-isu tersebut. Lalu bisa di-scan untuk melihat, bagaimana sih POV orang yang buta warna, baik total maupun parsial?
Lain kali aku akan ke ARTJOG bareng teman aja deh, seperti ada yang kurang karena tiga lantai dan diem aja. Atau mungkin ajak ngobrol strangers yang juga dateng sendirian? :D
See ya tahun depan kalau berkesempatan.
3.1 — Kecombrang dan Kombucha
Di catatan perjalanku edisi Sehari Bervakansi di Malang, aku pernah cerita kalau aku ke Hondje, salah satu kedai teh mungil dan artinya adalah kecombrang. Nah, di Jogja ini, aku berkesempatan nyicipin aneka olahan kecombrang, di antaranya nasi goreng kecombrang dan es krim kecombrang. Selain sebagai aromatik, kecombrang bikin segar dan asam.
Setelah gempor jalan di ARTJOG, masih di kompleks yang sama, JNM Block, ada kedai es krim namanya Huma Ide. Rasa es krim yang kubeli adalah bunga telang dan kecombrang. Untuk bunga telang lebih seperti susu vanila sih, cuma emang warnanya pakai bunga telang dan ada serpihan bunga telangnya juga. Untuk es krim kecombrang, rasanya unik sekali, asem, seger, khas kecombrang yang nyengat dikit, dan ada serpihan kecombrangnya juga.
Nah, salah satu agenda perjalanan ini, aku kembali ke Murakabi. Kali ini aku mencoba menu baru mereka, yaitu nasi goreng kecombrang. Kecombrangnya banyak, rasanya merasuk bersama bumbu nasi goreng, ditambah telur ceplok dan peyek cabe. Kala itu aku siang bolong ke sana dalam kondisi lagi-lagi laper wkwk. Enak banget aku waktu nulis ini pun masih kebayang segernya kecombrang dijadiin bareng nasi goreng.
Minumnya adalah kombucha teh hijau. Selama di Jogja at least sekali sehari aku order kombucha. Kenapa di Surabaya jarang nemu kombucha sih?
Kombucha adalah teh fermentasi, jadi tehnya dimasukin SCOBY (symbiotic culture of bacteria and yeast). Disebut juga sebagai teh jamur.
4. 1 — Celah Memori Jenang Gempol
Aku ingat dulu waktu masih bocil diajak mamaku ke salah satu pasar di Madiun jalan kaki dan kami mencoba jenang bentuknya bulat-bulat putih dari beras. Nah, sampai 2023 aku baru menemukan melalui salah satu video food vlogger bahwa namanya adalah jenang gempol. Jenang gempol ini jarang ada di menu per-jenang-an di Nganjuk maupun Surabaya, jadi susah kutemui. Ternyata, jenang gempol bisa ditemukan di Madiun dan Jogja. Salah satu yang legend adalah Jenang Gempol Bu Yah di Pasar Pujokusuman.
Hari itu adalah hari lahirku. Tidurku nyenyak, bangun-bangun keinget itinerary yang udah kususun, bahwa pagi itu aku mau jalan ke Pasar Pujokusuman buat beli jenang gempol. Jarak antara homestay dengan Pasar Pujokusuman hanya 10 menit jalan kaki. Aku berangkat jam enam pagi. Udara masih enak, jalanan saat berangkat juga masih lengang. Matahari menyisip ke daun-daun pohon dan fakta bahwa aku di kota orang saat hari lahirku, sendirian pula, bikin aku lebih menyadari hal-hal kecil di sekitarku.
Pedagang yang siap-siap buka dagangannya, pelajar yang nungguin Transjogja di halte Pujokusuman, rumah-rumah di sepanjang jalan menuju Pujokusuman, dan tujuanku, Jenang Gempol Bu Yah. Waktu sampai, gempol dan santan sudah di-pack, lalu disajikan bubur sumsum gula merah dalam daun pisang. Harganya hanya lima ribu saja. Habis itu aku kembali, jalan mulai ramai. Di jalan pulang, aku menepi ke bangku taman Museum Perjuangan.
Aku memutuskan untuk makan jenang gempol di sana. Perpaduan antara gempol beras (putih bulat-bulat) dan santan yang gurih bersama bubur sumsum gula merah yang legit, apa namanya ya??? perkawinan rasa??? Teksturnya pun saling komplemen, gempolnya padat dan hancur waktu dikunyah, bubur sumsumnya lembut. Ditambah saat itu udara pagi masih sejuk dan bangku taman Museum Perjuangan ga banyak orang-orang….Alhamdulillah.
Kuliner di pasar ini sebenarnya sudah ada sejak dulu ga sih? Tapi sepertinya baru tahun ini mulai ragam kuliner dari tradisional sampai modern masuk pasar. Malamnya aku makan ayam katsu pakai salad yang sayurnya banyak banget dan ada mashed potato di TFP Kopi Warun Pasar Prawirotaman, di hari terakhir makan dimsum uyacumcha di Pasar Gede Solo dan udon fushion pake sambel di Pasar Kranggan.
Nah, bagian kuliner di pasar ini, aku ditemenin sama Nana dan temannya Nana, namanya Jelita. Baru kenalan saat itu juga karena kebiasaan Nana kayak gitu dah dia mengupayakan temennya dia berjejaring sama temennya dia yang lain.
Rasanya senang menelusuri pasar-pasar yang “hidup” ini. Meskipun ramenya yaampun banget apalagi UmaYumcha si dimsum populer Pasar Gede. Tapi seru lihat-lihat interaksi antarmanusia dan gimana relasi terbangun.
— — -
Aku selalu penasaran gimana Jogja bisa semasif itu dalam membangun komunitas, kayak….diverse banget macam-macamnya. Semua jenis orang bisa ditemukan di sini. Mau abang-abangan kampus, ada. Kakak-kakak buku religi ikut kajian, ada. Pegiat gaya hidup berkelanjutan, ada banget. Seniman lokal dengan karya kerennya? ADAAAA, itu gang-gang Prawirotaman isinya mural, toko-toko artsy, bahkan gaya yang nyentrik pun jelasss ada waktu di ARTJOG apalagi. Irisan antara tipe-tipe manusia? Aku yakin ada. Katanya, kalau mau dikelilingi atau membuat kelompok kita terlebih dahulu harusnya, menjadi. Menjadi seperti apa? Menjadi seperti yang kita inginkan lingkungan yang ingin dibangun seperti apa. Agaknya susah ya wak, tapi begitulah.
Di bagian dua, aku akan menceritakan tentang pertemuan. Sampai jumpa di halaman selanjutnya!
05/09/2023
Sincerely,
F.