Catatan Perjalanan — Urup, Urip, dan Kebingungan Akhir-Akhir Ini (URUP 2024)

f.
13 min readApr 3, 2024

--

Di sampul jurnal 2021-2023-ku yang terbuat dari kulit sapi itu, aku nulis gini:

Urip iku urup
;Nyala
Seperti harapan.

Alasannya, setelah kulihat lagi di medium-ku sendiri adalah aku mau hidupku hidup. Frasa itu masih terus bergulir makna sampai sekarang. Lalu, awal tahun 2024 kemarin, aku datang ke konsernya Kunto Aji, URUP 2024. Awalnya tentu nggak kepikiran yang gimana-gimana karena kesamaan judul itu, ya kan frasa tersebut udah umum. Tapi ternyata kesamaan itu sangat oke untuk kujadikan paragraf pembuka catatan ini wkwkw.

Pasti dalam setahun, ada aja masa aku yearning banget akan sesuatu. Tahun 2023 pun begitu dan kejadiannya di kuarter akhir 2023, pada bulan-bulan berakhiran -ber. Bingung banget tuh aku, sebenernya aku kenapa ya kok kayak ada yang kosong tapi aku nggak tahu itu apa. Masa ya sampai hal-hal yang awalnya kusukai banget dan akan kulakukan kalau lagi sumpek seperti ke C2O Library, ikutan walking tour, jalan-jalan random ke tempat menarik, dan nulis pun sampai nggak minat dan super males kulakukan. Puncaknya, sampai gak bisa nulis jurnal. Bisanya nulis jurnal kalau udah beneran kepalaku rasanya digedor buat nge-breakdown benang-benang ruwet itu.

Sampai pada musim-musim ujian bulan Desember, terus aku lihat unggahan Instagram kalau Kunto Aji mau ngadain konser subuh-subuh waktu tahun baru. Pikirku, aneh banget bjir tapi menarik nih, apalagi tenants yang ikut tuh jadi wishlist-ku kalau ke Jogja lagi. Dan yang paling menarik buatku adalah ada sesi meditasinya sebelum konser mulai. Jujur kalau untuk lagunya aku belum terlalu dengerin Pengantar Purifikasi Pikir, tapi di unggahan Instagram itu untungnya Mantra-Mantra juga dibawakan jadi ya aku oke-oke aja karena beberapa lagunya emang kudengarkan religiously sejak aku SMA dan belum sempat ke konsernya. Kukira, dengan datang ke URUP 2024 ini, aku akan nemu lagi spark yang gak kutahu itu. Jadilah aku ngotot mau dateng dan tentu saja kepentok izin.

Aku sudah izin sejak 2 minggu sebelum tanggal 31 beserta rencana-rencanaku dari mulai naik apa, ngapain aja, ke mana aja. Dan izinnya mentok karena aku rencana sendirian. Aku merasa sudah memberi alasan-alasan rasional, tapi justru izin baru dapet habis maghrib tanggal 31, dengan alasan diizinkan yang gak rasional buatku. Akhirnya pesen tiket buat jam setengah satu malam dengan estimasi sampai jam setengah empat.

Potret 1: Gerbong Kereta Kosong

Ternyata, waktu aku berangkat, kosong banget tuh keretanya. Aku pengin tidur tapi nggak bisa, mataku terus terjaga dan palpitasi wkwkwkwk kenapa yah heran juga padahal ga minum kopi. Di sini aku mikir, gimana caranya nanti dari stasiun ke lokasinya yah? Masalah dapet atau nggak dapet ojol aku nggak terlalu khawatir, aku lebih khawatir karena tempatnya tuh nyempil lewat sawah-sawah dan nggak sesuai titik karena di titik lokasinya emang nggak ada di aplikasi. Tapi ternyata aman-aman aja sih karena follow the crowd yang juga menuju ke sana (dan sama bingungnya).

Setelah turun di Stasiun Tugu, santai-santai dulu lah sampai kelewatan tuh baru sadar kalau udah jam empat lebih. Tapi hari masih gelap dan stasiun masih ramai sisa tahun baruan, aku milih tempat nunggu ojol pokoknya ada lampunya (di deket tulisan Shower and Locker). Menjadi perempuan membuatku merasa nggak aman banget, jadi aku ngelakuin hal-hal preventif yang aku bisa agar supaya aja. Btw, aku juga sudah nyiapin peniti incase ada yang macem-macem, sayangnya belum nyiapin pepper spray.

Potret 2: Menuju Tuju

Nah ini sudah sampai, baru kali ini konser sepagi ini dan lewat sawah terus ada kandang sapi. Jalan menuju venue-nya setapak, sungguh adem pagi-pagi menuju ke sana diiringi suara tonggerek (serta sapi) dan penduduk yang mulai kerjain aktivitasnya mengawali tahun.

Udah masuk, akhirnya sampai ke penukaran tiket. Setelah menukarkan tiket, di sana aku bertemu sama stranger yang sama-sama sendirian, kita saling pasangin gelang URUP wkwkw dipikir-pikir lucu juga cara encounter pertamanya. Setelah itu kita duduk bareng dan kakaknya sangat baik ngasih aku jas hujan plastik untuk diduduki karena aku nggak bawa tikar atau jas hujan plastik, emang dasar nggak persiapan. Bahkan sampai akhir konser kita tetap bareng, sekalipun tanpa tahu nama satu sama lain. Kenapa nggak tanya yah…..

Potret 3: Duduk Bareng Stranger

Ini waktu kita duduk bareng dari awal sampai akhir lagu, sebenernya kita kelewat dua lagu sih, Urup sama Saudade, ADA BANGET SEDIHNYAA karena Saudade termasuk ke dalam lagu favoritku.

Waktu sampai, sudah ramai sekali orang-orang duduk sembari nyanyi, sementara aku dan kakak stranger itu masih nyari-nyari tempat yang comfy. Tahu gak sih, crew-nya tuh menurutku nggak seperti crew konser-konser pada umumnya. Pernah ga kamu lihat crew konser lagi nyalain dupa sambil memutari penonton biar wangi semua? Nah, itu salah satu keunikannya. Sayangnya lagi, aku kelewat sesi hening sejenak sebelum konser tadi (mungkin salah satu bentuk meditasi). Dari laku mereka-mereka yang terlibat dalam konser ini tuh, apa ya, aku nggak tau ngebahasainnya gimana, intinya, unik dan nggak biasa?????? At least untukku.

Potret 4: Matahari Terbit dan Nyanyian Kunto Aji

Sudah kubilang di awal kalau aku belum dengerin Pengantar Purifikasi Pikir, tapi, justru setelah pulang konser aku jadi sangat amat suka dengerin Orang Asing Dalam Cermin, Jernih, Jangan Melamun Saat Hujan, dan Urup (Urip).

Nah, aku nangis jelekkkk waktu Kunto Aji bawain Orang Asing Dalam Cermin karena aku ngerasa resonate mungkin yah. Beneran nangis yang ga kerasa tiba-tiba udah ingusan aja. Udah kubilang juga di awal kalau aku lagi YEARNING akan sesuatu yang aku masih gak tau. Aku kayak ngerasa lost aja, padahal waktu aku trace back, kehidupan akademik, relasi teman keluarga, dan hal-hal seru tuh lagi ada. Tapi sepertinya aku yang belum selesai sama aku sendiri (masih ada layer yang belum kubuka). Ya gimana nggak nangis ya, nyanyian Kunto Aji sungguh ngena, di sini posisi aku belum pernah dengerin dan nggak tahu liriknya. Berikut liriknya, yang ternyata emang ngena dengan aku:

Selama yang kau cari masih saja
Peran besar dalam nyaman yang kecil
Selama yang kau mau
Yang kau tuju tak seirama

Selama itu aku kan datang
Sebagai ingatan sebagai tamparan
Selama itu hari baik kan tiba

Waktu Jangan Melamun Saat Hujan, aku ngira itu lagu yang sungguh manis tapi ternyata (kayaknya) enggak deh wwkwkkw. Tapi di aku lagu tersebut selalu menjadi lagu manis sih sampai sekarang meskipun aku udah baca liriknya. Memang kan kalau karya udah dilempar, interpretasi akan datang sebebas-bebasnya.

LALUUU, waktu lagu-lagu Mantra-Mantra dinyanyikan, seperti Pilu Membiru, Rehat, Topik Semalam, Sulung, dan Selaras juga dinyanyikan, yang aku rasakan, kenangan yang muncul, dan interpretasi sotoy yang on the spot itu, tentu beda-beda. Pilu Membiru, aku inget mamaku. Rehat, aku inget capeknya kuliahan dan waktu masih SMA di asrama dengerin Rehat tiap malem terus temen satu kamarku (terpaksa) ikut dengerin. Topik Semalam, lagu manis dan lawak, Sulung, lagu untuk cinta diri sendiri, dan Selaras, ini aku bengong karena woah aja.

Fyi, otak kita punya sistem keren namanya sistem limbik. Dia ini yang berperan konsolidasi memori dan asosiasinya akan suatu hal, salah satunya penciuman. Misalnya, kalau aku nyium wangi peppermint, aku otomatis inget Rex Rashad.

Lalu lagu Jernih. wah ini sih men, aku sangat amat mengamininya dan sedang berusaha sampai sekarang.

Agar yang keruh terurai luruh
Agar hatiku semakin teduh
Aku hanya ingin merasakan damai

Jiwa yang tertawan
Aku memaafkan
Hati yang berlubang
Aku memaafkan

Berserah dan los tatag bolo Tuhan tuh sesuatu yang mudah banget kuucapkan tapi nggak dengan implementasinya. Terus juga akan kebentur dengan, ini aku udah bisa berserah apa belum ya? Apa jangan-jangan emang belum berusaha lebih aja? Mirip-mirip sama pernyataan, minta yang terbaik tuh yang gimana? GWS. Emang hidup ini kompilasi bingung.

Ohiya, selama nyanyian itu, matahari pertama 2024 terbit. Tahun ini nggak seperti tahun-tahun sebelumnya yang kuhabiskan dengan merenungi setahun terakhir dan bikin plan. Tahun ini kuawali dengan nangis jelek gara-gara Orang Asing Dalam Cermin.

Potret 5: Potret Ngasal

Aku mau cerita kalau tiba-tiba ada kejutan si Sal Priadi tampil. Kaget banget kenapa ada beliau padahal nggak ada di rundown??????? Sal Priadi pakai topi petani jadi waktu orang-orang ngerubungin aku ngelihatnya seperti vox populi vox dei deh… Sal nyanyi dua lagu, yaitu Besok Kita Pergi Makan dan Mesra-Mesranya Kecil-Kecilan Dulu. Belum pernah full dengerin keduanya karena selama ini cuma dengerin potongan yang ada di editan video orang-orang. Ternyata lagunya asik dan maniiiis sekali lagu kasmaran.

Setelah Sal, kan lanjut Kunto Aji lagi, nah sebelum transisi itu ada hening sejenak. Ini gaakan kamu temukan di konser-konser lainnya. Suruh merem, terus ngerasain pakai lima indra dan kendali nafas untuk sadar penuh hadir utuh. Setelah itu baru lanjut. Nah, waktu Pilu Membiru, tiba-tiba dari arah samping, tempat di mana Sal tadi duduk, ada Adjie Santosoputro bermonolog. Ngomong banyaaak, tapi yang aku rekam hanya:

  1. Buat persoalan-persoalan di masa lalu, ada kalanya bisa diselesaikan hanya jika dengan memaafkan diri sendiri
  2. Kesadaran bahwa semua ini sementara, nggak ada yang kekal

Dengan itu bisa pulih. Narasi monolog sebelumnya nggak aku inget sama sekali karena udah dari 1 Januari.

Potret 6: Tenants

Setelah selesai konser, dilanjut dengan talkshow sama dengan topik dan orang-orang yang lagi-lagi, menurutku unik. Selain itu juga banyak tenants yang jadi wishlist-ku, di antaranya ada Gelora Baik dengan nasi goreng mawarnya, Wiratea spesialis rempah but make it nge-pop, dan BhuBhu. Awalnya, aku merencanakan untuk nyoba nasi goreng mawar Gelora Baik dan ubi asam udeung-nya BhuBhu, tapi ternyata hari itu jadinya aku pengin Bubur Tinutuan-nya BhuBhu saja. Jadi Bubur Tinutuanlah makanan pertamaku tahun 2024. Katanya berasnya dari Beras Baik Nasi Peda Pelangi, yang setauku mereka ini dari petani lokal, minim pakai pestisida (cmiiw), dan proses penanaman ramah lingkungan. Kalau ditinjau dari rasa aku nggak menemukan perbedaan antara Beras Baik tersebut dengan beras yang ada di supermarket, tapi kalau ditilik lagi prosesnya, jelas beda. Bubur tersebut dipadukand dengan bayam dan jagung, mirip sayur bening, ditambah sambel, tahu bacem, dan ikan asin.

Untuk minumnya, aku pesan turmeric latte dari Wiratea. Kunyit dijadiin latte. Sudah pernah mencoba pertama kali di Murakabi waktu tahun 2022, tapi baru kali ini nyoba versi Wiratea. Keren sih mereka. Biasanya jamu identik dengan para jompo dan kuno. Wiratea ngenalin jamu dengan cara yang mudah diterima anak muda.

Sembari nikmatin makanan dan minuman, aku duduk untuk menyaksikan orang-orang tidak biasa ngomongin topik yang nggak biasa juga. Sekali lagi, at least nggak biasa menurutku. Tema besarnya adalah “Menjadi” sungguh filosofis untukku yang kebingungan mau jadi siapa dan apa. Yang aku dengarkan adalah waktu Kak KelinciTertidur cerita tentang prosesnya bikin #ayokitakemana yang mengangkat budaya lokal dan Mbak Asri Murakabi cerita tentang pindahnya beliau ke Minggir dari Jakarta dan membangun Agradaya.

Potret 7: Ruang Tenang Sanustra

Selain talkshow dan tenants, ada ruang kecil namanya Ruang Tenang Sanustra. Karena aku ke sana batch terakhir, panas banget. Antre dan panas.

Awalnya, kita didata. Lalu suruh nempelin sticky note, apa perasaan kita di hari itu (bisa kamu lihat sticky note-sticky note pada bahagia, marah, sedih, jijik, takut, terkejut). Tebak aku nempelin ke manaa. Jelas yang takut lah orang aku dateng ke sana lagi jadi keong yearning. Nah, di sini lah aku sadar, yearning nih yearning akan hal apa aja ya, dan yang gimana. Salah satunya yang muncul: Takut.

Saat sudah tahu perasaan kita (sadar), kita menuju ke Ibu yang bawa kembang turi dan garam. Tujuannya untuk purifikasi pikir. Sumpil ini aku nggak tahu juga kenapa bisa begitu. Jadi, kita disuruh nyeker dan ngelempar kembang turi sama garam sampai kita merasa bahwa kita sudah kembali ke “netral”, ngebuang “rasa” yang tadi kita bawa, dalam hal ini, aku ngebuang “takut”. Lagi-lagi, konsep ini abstrak dan aku masih juga gak ngerti. Yang aku lakukan di sini cuma bilang ke diriku sendiri, “oke, sekarang, lepas dulu apa yang aku rasain, kan mau masuk ruang tenang. aku sebenernya nggak ngerti ini ngapain, tapi menarik juga buat dicari tahu, tapi gak sekarang, sekarang intinya pause dulu sih menurutku”.

Kemudian, masuklah ke Ruang Tenang. Ruang kotak warna hitam, minim cahaya, dingin, dan wangi. Di sini diawali dengan minum MeditaTea, udah aku ceritakan di Catatan Perjalanan Jogja pt.2. Nah, itulah teh yang diminum di sini. Tatacaranya nggak langsung diminum, tapi diawali dengan disentuh dulu, oke hangat, abis itu dicium wanginya, kemudian baru diminum, dirasakan.

Setelah itu, diputar pada layar Kunto Aji lagi nyanyi Urup, kita-kita disuruh tutup mata untuk mendengarkan sembari ngeluarin emosi. Ruang Tenang ini adalah ruang aman untuk itu. Dalam video tersebut ada monolognya, yang lagi-lagi aku lupa. Pokoknya saat itu, asumsinya sudah relax semua, aku mulai denger orang-orang menangis. Saat video sudah selesai, ada sesi tanya jawab bareng Mas Iyus, yang bikin Sanustra. Aku inget ada yang tanya, intinya gini, “Apakah suatu lagu bisa ngena ke seseorang karena frekuensi antara lagu itu dan orang itu lagi berada dalam frekuensi yang sama?” Nah, yang jawab justru keyboardist Soegi Boernan yang saat itu ikutan dalam Ruang Tenang. Sayangnya aku gak inget jawabannya apa :) emang yah mending ingatan itu dikumpulin dalam tulisan ngasal aja baru kalau mood ditulis yang serius. Meskipun tulisan ini pun masih ngasal dan aku dalam keaadan ada mood.

Potret 8: URUP 2024

Keluar dari Ruang Tenang, aku masih bingung. Banyak kebingungan baru hari itu. Dari mulai tentang meditasi, makna bunga turi dan hubungannya sama purifikasi diri, apa maksud “kembali ke dalam diri” dan kenapa kita perlu untuk itu, meditasi itu gimana, sadar nafas itu gimana, sadar penuh dan hadir utuh apakah mungkin, dan gimana-gimana-apa lainnya.

Sekarang, aku sudah ngerti definisinya, tapi aku tetep masih selalu kagok untuk translasiin itu semua berdasarkan apa yang aku alami dan apa yang aku rasakan, yang ternyata beda-beda tiap waktunya. Terus bergulir makna. Karena ternyata, pertanyaan-pertanyaan itu bukan untuk didefinisikan aja, tetapi juga untuk dimaknai.

Aku masih banyak bingungnya dalam menjalani hari, masih sering nggak suka sama diri sendiri dan muak sama sistem jelek, tapi emang sepertinya men, hidup tuh isinya kebingunan-kebingungan satu dan dilanjut sama yang lainnya. Lalu cinta diri sendiri itu nggak selalu linear, terus untuk sistem jelek, bukan hanya kewenanganku aja tapi juga kerja-kerja kolektif (khususnya yang bikin kebijakan, plis lah bikin kebijakan yg ga nguntungin u sendiri).

Proses-proses kecil, termasuk dari mulai mikirin hal-hal apa yang aku sukai, gausah jauh-jauh ke karier deh. Kalau kata Abel Fergani dalam Jakarta Sebelum Pagi (btw aku lagi suka ABEL FERGANI), waktu si Emina lagi overthinking tentang apa hal-hal yang disukainya untuk kemudian jadi karier pekerjaan,

“Dan kamu sudah memulai. Itu sudah cukup bagus. Besok kamu pikirkan lagi, dan besoknya lebih banyak lagi. Jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan besar.”

Sayangnya, rasa-rasanya tuh waktu berjalan dengan cepet, kayak dikejar maling dan ngos-ngosan. Jadinya waktu buat mikir (dalam hal ini, ‘menyadari’), itu terkesan nggak penting, padahal ya penting lah. Kayaknya di situlah fungsi “melihat kembali dalam diri” dan “sadar penuh hadir utuh” dan “melambat”. Untuk mendengarkan dan mengerti diri sendiri, nggak hanya gema dari luar diri. (tentunya akan ada pertanyaan lanjutan: bukannya diri kita yang sekarang juga terbentuk dari apa-apa yang kita terima dari luar?) ya itulah men kebingungan satu ganti jadi kebingungan yang lain, yaudah si. Balik lagi, kan kita punya kapasitas untuk mikir. Untuk menerima, menyeleksi, menubuh, menjadi laku, lalu “menjadi”.

Potret 9: Jurnalku

Sekarang, jurnalku sudah bukan dari kulit sapi karena yang itu sudah habis dan aku nggak mau isi ulang. Jurnalku sekarang judulnya “Jurnal Gladiola” dan pada sampulnya ada stiker kunti bogel. Stiker itu kubeli dari booth Sporadies waktu di URUP 2024.

Sekalipun udah nggak ada ukiran

“Urip iku urup
;Nyala
Seperti harapan.”

Aku tetep berharap uripku urup sih, meskipun nyalanya gak selalu gede. Kecil aja nggak apa-apa asal selalu ada. Seperti kata Camus yang dikirim Millata ke aku waktu awal tahun 2023, “api yang redup namun menyala dengan gigih”.

Semoga makin banyak menyadari layer-layer yang selama ini belum disadari, seeking growth, kerja-kerja kolektif makin banyak dan sustain, hubungan antarpersonal makin saling nurturing ke arah yang woke, nggak takut being vulnerable, semoga semua makhluk merasakan damai, badai pikiran bisa reda,…….ITU selesai (s word), semoga makin oke juga hablumminallah dan hablumminal alam, semoga juga nemuin hal-hal menyenangkan entah itu dalam rutinitas sehari-hari atau pun untuk keberanian dalam memulai. Semoga ya.

Awalnya catatan ini mau jadi catatan perjalanan kayak biasanya, tapi sekarang ini kenapa lebih ke brain dumping yah wak, tapi yaudah.

Whoever you are, kalau kamu pernah ngobrol atau aku pernah lihat kamu, pasti ada satu titik dari kamu yang aku ambil, karenanya kamu turut membentuk aku. That’s how significant you are. Aku berterima kasih untuk itu. (NGOMONG APA INI WEHHH)

Maaf ya aku brain dumping di sini wkwkwk.

Gws,

Fin: 0:54 am.

04/04/2024

Sincerely,

F.

--

--

f.
f.

Responses (2)