kalau bisa baca tulisan ini, berarti kamu udah bertahan sejauh ini. akhirnya tiba di 10 september lagi. keren loh men udah ketemu hari ini lagi, seberapa pengennya ngga mengada or nyerah aja. berikut ini aku mau ngoceh
1,
well-being seseorang gabisa dipisahkan dari kondisi dirinya sendiri dan lingkungannya. terlebih tentang kenyamanan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. akhir-akhir ini aku sering marah-marah sebagai warga negara. dari mulai hak bernafas dengan lega aja direnggut karena polusi sampe kapitalisme kronis. nihilnya peran pemerintah memunculkan peranan rakyat bantu rakyat. lihat aja siapa yang memediasi dan memperjuangkan anak atau perempuan korban KDRT dan KS? ada namanya Rumah Bulan coba search aja. atau organisasi non-profit yang bagi-bagi nasi darurat dan galang dana. Mana polisinya sering oleng juga. Ga melindungi rakyat tuh waktu, bisa dilihat betapa kerasnya mereka waktu lagi demo kemarin. Alias pemerintah dan aparat sama-sama oleng.
gabisa dipungkiri kondisi ini bikin aku memandang gerakan-gerakan perawatan sebagai suatu gerakan yang utopis sekaligus optimis. utopis karena balik lagi yang di atas sana yang berkuasa optimis karena kerja perawatan menandakan saling empati antarmanusia.
lalu dunia yang kelewat patriarkis. anjrot musnah aja. tiap hari ada aja berita kejahatan yang dilakukan laki-laki. baru-baru ini ada berita femisida. ga hanya satu ya. lalu karena patriarkis, timbullah maskulinitas yang rapuh. efeknya bisa dilihat, laki-laki susah buat mengekspresikan apa yang dirasain karena dianggap lemah, ngrasa pengen jagoan jadi ga nerima kalau ditolak jadi ngotot nge-stalk sampe lagi-lagi femisida. jadi perempuan susah buat ngerasa aman. belum lagi kalau bicara masalah ketimpangan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki dalam sektor pendidikan atau dunia kerja.
betapa sistemiknya permasalahan yang kita temui sehari-hari, tapi solusi dan apa yang bisa kita lakukan pertama adalah intervensi personal.
2,
gimana kita hari ini dibentuk dari rumah. hiks hiks aku sadar bahwa tiap-tiap dari kita ada aja efeknya dari apa yang orang tua/orang dewasa di sekitar kita lakukan yang masih melekat sampai sekarang. ya emang sih mereka-mereka juga hidup pertama kali di dunia ini….dan “fixing” mereka bukan pekerjaan yang mudah. karena kesadaran itulah yang bisa dilakukan lagi-lagi adalah intervensi personal.
kata psikolog-ku waktu itu, aku kan curhat kalau aku ga suka nge-blame atas apa yang terjadi ke aku ke seseorang, katanya bisa dilakukan reframing, apa sih hal-hal dari orang itu yang nge-influence aku untuk lebih baik lagi? Hzmmzmzmz dalam praktiknya di aku, lebih enak sih kalau mengakui dua-duanya. positif negatifnya.
kayaknya segala proses yang berkaitan sama diri sendiri tuh ga linear deh. self love, grieving, move on, belajar hal baru, ada aja muter-muternya. dalam proses itu, aku sering kepengaruh sama kondisi diri sendiri (baik biologis maupun penempatan diriku dalam lingkungan sosial) dan support orang-orang terdekat.
panjang umur upaya-upaya perawatan kolektif. somehow life’s worth living again waktu bisa ketawa sama temen n kehidupan domestik teratur. somehow upaya-upaya nurturing diri sendiri hadir lewat upaya-upaya nurturing makhluk lain.
3, you never walk alone
but you have to know how to help yourself first
emang sih kita ga pernah sendirian dalam perjalanan ini, tapi men kalau lagi krisis rasanya kan mata kayak nge-blur, yang dipikirkan ya diri sendiri. sampai penglihatan jernih lagi. ini yang menurutku masih perlu diupayakan lagi karena minim amat pengetahuannya. karena satu waktunya ga tentu, dua psikolog ga selalu accessible, tiga hotline bunuh diri di Indonesia blom memadai.
beruntunglah kalau punya support system mantep yang bsia diajak ngomongin apa aja.
beberapa waktu lalu di twitter ada thread tentang intervensi psikologis yang penerapannya susah di Indonesia, yaitu journaling. aku setuju sih men poin yang kendala bahasa. kata yang dikenal sehari-hari untuk labelling apa yang kita rasain tuh minim. sedih. iya sedih, tapi bukan sedih yang nangis-nangis, sedihnya sesek dan kosong. gitu misalnya.
belajar tentang diri sendiri itu emang seumur hidup ya. bongkar-pasang pengetahuan. akan sangat membantu kalau punya pengetahuan tentang coping mechanism dari krisis itu…..kataku ini personal dan eksperimental. coba-coba mana yang works.
4, let the lights in
tanpa sadar, kita sering melupakan cahaya-cahaya kecil dalam perjalanan atau emang lagi surem aja jadi cahaya itu ga kelihatan. nginget-nginget cahaya itu somehow heartwarming.
may the light enters you.
jangan ragu buat minta bantuan kalau perlu, meskipun susah. inget men kita makhluk sosial. ga ada yang salah dengan venting ke temen yang kita anggap ngerti, bersesi-sesi konsul, dan ngayal🤣🫵🏼
aduh ngayal pun kusadari juga adalah aktivitas yang mewah sih (Lagi-lagi w mau nyalahin kapitalisme yang mengakar dan pemerintah). Aduh kesel juga. Ya gimana ya intervensi yang bisa lakukan sifatnya gimana biar ga timbul “gejala”, sedangkan kalau akarnya ga ilang ya bisa muncul lagi kapan aja….cuma karena kita dah punya senjata buat coping, jadinya ga keos-keos banget lah (semoga).
5,
semoga marah-marah karena sistem jelek ini bisa disalurkan jadi optimisme untuk berserikat dan melakukan upaya-upaya perawatan.
semoga kalau lagi burem, bisa inget cahaya-cahaya kecil jadi jernih lagi penglihatannya.
semoga selalu nemu cara yang oke untuk sintas dari krisis diri sendiri.
semoga selalu nemu hal2 yang bikin jalan terus
semoga lebih sering bobok nyenyak dan bangun pagi, juga ga takut berharap.
semoga selalu mau mengupayakan utnuk menghidupi harapan itu.
semoga selalu memilih untuk being alive.
inget men, cuma ada u seorang di dunia ini. gaada yang nyuruh kok untuk berperan besar bagi dunia. toh yang utama adalah mengupayakan rasa cukup dan utuh untuk diri sendiri dulu, baru kita bisa memberi….
selamat tanggal 10 September fren, moga bisa ketemu di 10 September berikutnya dan berikutnya. Dan saat itu tiba, moga keadaan lebih mantep dari ini.
Pemantik tulisan ini:
11.44 pm
10/09/2024
F.