Kitari dan Krisis Eksistensi Pukul Satu Pagi

f.
3 min readMar 14, 2021

--

dokumentasi pribadi

Aku sudah menjadi penikmat suara T.Rucira sejak duduk di bangku SMP. Sekitar jam 12 malam, aku membuka akun Instagram yang isinya puisi-puisi seram, ada satu video karya penulis yang menggunakan latar lagu yang tidak familier di telingaku, tetapi langsung terasa akrab. Begini bunyi pertama saat itu,

“Sudikah kau tuan,

Iringi langkahku,

Jangan kau tinggalkan,

Seperti yang lalu.”

Didukung dengan visualisasi penggunaan lagu tersebut yang mencekam, suara yang terdengar sudah dreamy, calming, dan disaat bersamaan tragis. Entah, mungkin dibalutan visualisasi yang gelap sekali, menyesakkan, dan depresif, lagunya terasa tragis. Karena tidak diberi keterangan judul lagunya, aku yang penasaran langsung mencari di YouTube dengan mengetik liriknya. Keluarlah satu nama di laman YouTube-ku: T.Rucira. Tidak ada video dia nge-gigs dan ajojingan di panggung sama penonton, hanya video musik dengan gambar ilustrasinya. Ternyata, judulnya: Lalu. Selepas itu, aku dengarkan lagu tersebut. Masih sama, tragis, calming, dan dreamy banget. Mendayu gitu seperti desir ombak di panasnya pantai, seperti embusan angin di dinginnya pegunungan.

Kesan pertamaku terhadap “Lalu” patah hati. Kalau aku telisik dan sotoy dikit, ini seperti sebuah permintaan gitu, ya? “Lalu” ini merujuk ke kekasih yang sekarang untuk tidak seperti yang sebelumnya. Sebuah pengharapan agar tidak terulang masa lalu tersebut. HA. Sangat tragedi di kondisi aku yang saat itu menerima curhatan temanku mengenai sahabat yang dijadikannya nomor satu. Kayak, wow apakah ini rasanya berharap banget ke sesuatu yang enggak pasti tapi sudah aku taruh percaya? Sejak itu, aku menelusuri lagu karya T.Rucira yang lainnya. Dan sejak saat itu pula, suara T.Rucira menenangkan sekali suaranya dan lagu-lagunya hingga sekarang masih ada di playlist-ku. Baik playlist jatuh cinta maupun playlist krisis eksistensi.

Seperti sekarang ini.

Banyak tanya berkelindan di kepalaku. Beberapa menjadi elegi, tragedi, bara semangat, dan puisi. Banyak tanya yang kadang aku sendiri malas untuk bertanya, mengumpat ke diri sendiri, mengapa kok pertanyaan tersebut berkelindan seenaknya? Katanya, seiring berjalannya waktu, tanya itu akan terjawab. Entah kita berusaha mencari jawabannya atau tidak. Terkadang, jawaban dari tanya tersebut sudah ada di depan mata, tetapi kita tidak menyadarinya.

Kalau pertanyaanku bermuara pada paradoks di antara kenyataannya dan kesimpulan yang berhasil (kuusahakan) kusimpulkan, sepertinya premisku salah(?) gitu kah? Bagaimana ya mengatasi ketidaktahuan atas rasa tidak tahu? Hahahaha. Keluar dari lingkungan yang menganggap hal itu sebuah kenormalan, dengan sendirinya akan kita timbang, kalau kita bisa saja menjadi tidak normal di anggapan kenormalan yang lain.

Lalu, mengenai krisis eksistensi ini, Who Am I? menjadi pertanyaan mendasar di setiap mata yang nggak bisa tidur waktu malam-malam. Merasa nggak pernah berguna walaupun sedikit, merasa bodoh nggak punya keahlian, merasa medioker banget, sementara aku menanamkan ke diriku sendiri, untuk tidak jadi medioker. Aku juga merasa kalau aku terlalu riding the wave tapi pada akhirnya jatuh dari papan selancar dan sekarang lagi di pantai habis kemasukan air diperparah dengan mata merah. Merasa pilihanku ini nih, kadang terasa ok ini jalanku, hm aku akan ber-positive thinking kalau akan terang. Nyatanya, agak buram juga kadang. Terus kalau ada yang bilang, semua orang punya keunikan masing-masing, seolah menyadarkan kalau benar-benar medioker itu nggak ada. Akan tetapi, pikiran jahatku sendiri meragukan itu. Ya harus dicari, digali, dan dikembangkan sih. Kalau nggak gitu ya gimana ya.

Hidup ini terasa keras. Jangan lupa atau jangan minum miras?

Suara T.Rucira masih terdengar dengan sejelas-jelasnya, aku menatap laman word yang isinya kalimat-kalimat isi kepala.

Sekarang pukul satu pagi, sedang mendengarkan lagu T.Rucira yang “Kitari”.

Amara C. 15/03/2021.

--

--

f.
f.

No responses yet