Terhitung sejak Maret tahun lalu, aku dipulangkan dari SMA-ku yang merupakan sekolah asrama. Selama dua minggu katanya, setelah itu akan kembali ke sekolah untuk persiapan Ujian Nasional. Ternyata, si coronavirus meraja dan dengan penyebarannya yang relatif mudah, konsiderasi untuk tidak sekolah tatap muka pun ditetapkan. Gila. Awal-awal senang bukan kepalang. Aku yang biasanya hidup tanpa ponsel di asrama senang dong karena berarti ponselku dapat kugunakan tiap saat?
2020, tahun yang seharusnya aku berpakaian wisuda, menjalani tahun terakhir SMA, dan hectic-hectic-nya mempersiapkan studi lanjut, harus menerima kenyataan bahwa baju wisuda yang baru selesai dijahit kemungkinan tidak akan dipakai untuk wisuda, mau wisuda sekarang pun rasa-rasanya sudah tidak ada urgensi dan perasaan “ingin”, akibat dari rentang waktu yang terlalu lama. Persiapan studi lanjut pun dilaksanakan daring. Mulai les intensif, mencari info sana-sini, dan belajar menata diri. Tantangan paling terasa di aku: perasaan presensi di momen tersebut.
Telah dikenal di telinga mengenai mindfulness. Dilansir dari mindful.org ,
Mindfulness is the basic human ability to be fully present, aware of where we are and what we’re doing, and not overly reactive or overwhelmed by what’s going on around us.
Perasaan presensi itu, merasa sepenuhnya hadir di apa-apa yang kita lakukan, menurutku, suatu keadaan ketika aku hidup untuk saat ini saja. Misalnya, aku sepenuhnya sadar bahwa aku sedang menulis, maka dari itu, ponsel kututup, aku fokus di menulis, aku tidak masalah untuk riset dari jurnal ke jurnal, menyerap setiap emosi yang hadir, entah jatuh cinta dengan homo fictus bikinanku, penasaran yang lebih di topik tertentu, dan yang saat itu kupikirkan ya aku yang “menulis”.
Kurasa, ponsel sudah mencuri atensiku melebihi aku yang kukehendaki untuk memberi atensi ke ponsel itu sendiri. Aku tidak munafik, bisa banget aku berkutat pada ponselku, scrolling Instagram padahal enggak penting-penting amat, membaca tweet orang-orang, buka WhatsApp, update story dan mengamati siapa yang melihat, ya, tidak bisa aku mungkiri. Rasa-rasanya, tangan kosong sekarang pun aneh. Aku memiliki tendensi untuk mengecek ponselku, bahkan ditinggal mandi pun rasanya sudah agak lama ya gak buka ponsel hahaha.
Pencurian atensi ini berimbas ke waktu aku kuliah online. Kurasa, attention span-ku menurun dari sebelum pandemi, semester satu kuliah, dan kini di semester dua. Kayak 15 menit memperhatikan dosen itu terasa lama sekali, berkali-kali mengecek ponsel, dan berakhir pada tidak mindful ketika kuliah. Memang sih, otak kita ada batas waktu fokus. Diperparah dengan tidak mindful dalam menjalani, merasa bersalah juga.
Kurasa, seni untuk mindful ini harus dilakukan dan diusahakan banget deh. Karena kalau enggak, aku nggak mengetahui kebermanfaatan apa dari apa-apa yang aku lakukan, gampang cemas ketika sudah dekat ujian, dan tidak ada presensiku untuk hari ini, untuk saat ini. Sekolah tidak secara langsung mengajarkan bagaimana sih mindful ini. Selama dari SD hingga kuliah, kebanyakan yang diajarkan bersifat teoritis, bagaimana menjadikannya praktis di kehidupan sehari-hari itu kurang sekali.
Pemaknaan proses belajar yang seharusnya bisa dan butuh mindful, hanya berlaku ketika H-1 ujian. Tendensi untuk instan memperoleh “yang penting nilai bagus” menyebabkan, ke-bodoamat-an dalam belajar. Setidaknya itu yang aku rasakan selama ini. Jarang sekali terasa aku menghayati proses belajar tersebut, menikmati bagaimana rasa penasaran itu membuncah, proses penelusuran ilmu-ilmu, dan ketidaktahuan ilmu ini sebenarnya bagaimana secara riil diterapkan?
Mindfulness sendiri juga membantu ketenangan dan kesehatan pikiran serta jiwa, sih. Kayak,, Enggak ada kekhawatiran gitu mengenai masa depan karena sepenuhnya sadar juga kalau pada akhirnya, masa depan bisa terbentuk sedemikian karena apa-apa yang kita lakukan sekarang dan bagaimana kita menghubungkan warna-warna yang sama di antara warna-warna yang berbeda dalam peristiwa masa lalu. Seperti kata si Steve Jobs,
You can’t connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future. You have to trust in something — your gut, destiny, life, karma, whatever.
Apalagi di era pengembangan teknologi yang begitu pesat, setelah aku nonton Mbak Dee ngobrol dengan Pak Gita, aku setuju sih kalau teknologi yang memang keniscayaan ini diimbangi salah satunya dengan mindfulness. Sekarang saja sudah terasa segalanya lumayan instan, mau tidak mau harus membuka mata dan diri untuk menerima kemajuan teknologi itu. Pergeseran perilaku sudah terlihat, hal-hal yang dianggap tradisional, memakan waktu lama, dan tidak praktis terasa sangat priceless dan antik wkwk. Seperti temanku yang menggunakan kamera analog dibanding kepraktisan kamera digital. Harus beli film, cuci film yang memakan waktu dengan hasil yang tidak melulu sempurna, kadang terbakar, kekurangan cahaya, kebanyakan cahaya.
Keperluan untuk menjadikan segala sesuatunya “seimbang”. Tidak tenggelam di keniscayaan perkembangan teknologi.
Kadang, aku merasa sulit sekali hidup dengan perasaan “hadir untuk saat ini” dan sense of awareness, dan mengenal diriku sendiri.
Sekarang sedang kuusahakan sih biar aku mindful.
ya biar nggak kelabakan juga waktu mau ujian.
biar aku menikmati setiap prosesnya, memiliki makna dan kebermanfaatan.
F.
16/03/2021