Setiap aku baca ulang sebuah tulisan, yang terjadi adalah aku menemukan sesuatu yang baru. Bisa perasaan yang baru, yang nggak persis sama dengan perasaan pertama kali waktu membacanya, bisa pemahaman baru karena ternyata aku belum paham waktu membacanya pertama kali, bisa juga karena aku menemukan sisi aku yang baru kusadari ada. Atau justru, menemukan sisi aku yang lama nggak muncul atau udah nggak ada lagi.
Praktik membaca ulang sebuah buku awalnya hanya karena mencari “rasa”. Harapanku, rasa yang kutemukan lagi akan persis sama. Tentu nggak bisa begitu. Makin ke sini, karena bacaanku makin banyak, praktik membaca ulang jadi sebuah project pribadi yang suka-suka karena aku penasaran. Antara ingin lebih mengerti yang dibicarakan buku tersebut atau ingin mencari perbedaan perspektif antara aku di masa lalu dan aku yang sekarang. Lalu ada lagi, aku bingung menyebutnya gimana, tapi intinya begini, aku sudah punya akses untuk membaca bukunya sejak lama, aku sangat ingin bisa membaca dan menyelesaikan buku itu, tapi nggak pernah berhasil. Lalu di suatu momen yang random, aku berhasil menyelesaikan buku itu.
Poin terakhir terjadi sebulan yang lalu, awal liburan. Liburan kali ini cukup panjang karena transisi antara semester akhir dan koas. Sejujurnya aku udah merencanakan akan pergi ke mana untuk liburan kali ini, tapi nggak ada yang terealisasi karena yang aku butuhkan ternyata adalah hibernasi. Akhirnya, persis setelah selesai semuanya (tercepot mengumpulkan print out skripsi dan persyaratan yudisium), aku ke C2o, tempat favoritku di Surabaya. Di sana, aku membaca Akar karya Dee. Akar dan Gelombang adalah dua buku di serial Supernova yang selalu nggak berhasil aku baca. Entah karena bosan, nggak relate, atau pun nggak sreg dengan tokohnya. Barusan di C2o waktu itu, aku ambil dua buku, satu karya Gabo Seratus Hari Kesunyian versi Inggris dan satu lagi Akar. Dan yaaaaa, aku menyelesaikan Akar dalam sekali duduk. Dari jam lima sore sampai sembilan malam. Seperti ada yang mendorong aku untuk menyelesaikan Akar. Buku itu jadi sungguh menarik, padahal sebelum-sebelumnya aku sudah mencoba baca tapi selalu nggak selesai, bahkan nggak lanjut sampai sepuluh halaman awal. Dugaanku dorongan itu terjadi karena memang momennya. Apalagi yang membentuk momennya kalau bukan akumulasi kejadian beberapa waktu terakhir dan bikin aku relate sama bukunya. Aku baru ngeh kalau buku itu tentang pencarian diri ke luar lewat orang-orang yang Bodhi temui yang pada akhirnya untuk dia mencari “ke dalam” dirinya sendiri.
Sampai sekarang project baca ulang itu masih berlanjut. Per hari ini aku sudah baca ulang Saman dan buku pertama dari Supernova, yaitu Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Keduanya membuatku menyadari bahwa dulu waktu baca pertama kali, kapasitasku memahaminya nggak se-oke sekarang ini. Kayaknya dulu aku hanya ngeh tentang kisah rumit keterhubungan absurd antara Ksatria, Putri, Bintang Jatuh, Dimas, dan Reuben. Semesta di dalam semesta, cerita di dalam cerita. Sekarang aku bisa mencerna nilai-nilai yang berusaha Dee sampaikan, ini juga karena beberapa waktu terakhir aku dipertemukan sama orang-orang yang ngomongin tentang kesadaran dan lagi-lagi, lebih mencari ke “dalam” sebelum ke “luar”. Rasanya somehow familier karena ya ternyata pertanyaanku tentang hidup kutemukan pada buku ituu. Kayak, oalah gini kah pertanyaan-pertanyaanku kalau berusaha ditemuin jawabannya? Pusing sie dan abstrak. Kalau Saman, aku baru ngeh dia gak hanya cerita erotis dan perlawanan sebagai tempelan, tapi juga mengandung feminisme, dekol, dan konflik agraria. Masih relevan dengan kondisi Indonesia sosial, ekologi, maupun politik sekararang ini. Ya betul, surem. Waktu baca ulang, aku juga menjadi sadar nilai-nilai mana yang cocok dan nggak cocok lagi denganku, seperti waktu baca Norwegian Wood-nya Murakami atau Klandestin. Si Nala Anarki yang kupuja-puja waktu SD-SMP yang kini ga bisa kupuja lagi dan perasaan ga nyaman waktu baca Norwegian Wood karena male gaze abis.
Kalau Perahu Kertas dan Jakarta Sebelum Pagi, kedua buku itu contoh cerita yang kubaca ulang demi mencara “rasa” yang harapanku akan persis sama dengan pertama kali aku membacanya. Ga bisa begitu memang, tapi rasanya masih menyenangkan ditambah aku yang bisa melihat kalau lama-lama aku terinspirasi dari tokoh-tokoh di sana dalam menjalankan hidup dan mengambil keputusan. Do it for the plot wkakaka contohnya keputusan ikutan open mic dan walking tour. Open mic aku terpengaruh Kugy dari Perahu Kertas karena dia sangat cinta menulis kalau walking tour tuh aku langsung ingat Abel dan Emina di Jakarta Sebelum Pagi waktu menyusuri ruang kota dengan pandangan yang berbeda. Lucu rasanya karena merasa ikut berkembang bareng meskipun ya dari awal jalan ceritanya ya begitu sihhh. Bedanya ada di “aku”-nya. Kini aku ngeh bahwa Abel kena PTSD yang jadi fobia sentuhan dan suara karena jadi korban perang aljazair atau Emina yang lagi mengalami proses berduka karena jadi korban selamat dari kecelakaan dengan kedua orang tuanya. Yang mana, dulu gak aku sadari karena belum memiliki kapasitas pengetahuan itu.
Aku pernah cerita di tulisanku yang judulnya Impermanence kalau ada satu tulisan yang nggak bisa aku baca ulang karena aku merasa teralu menggelikan sejak kata pertama. 31 Januari, kayaknya karena dorongan udah dinyatakan lulus kuliah aja sih, akhirnya aku berhasil baca ulang tulisan tersebut. Waktu membacanya, yang aku rasakan nggak seperti dugaanku. Kukira aku akan geli mampus dan nggak kuat waktu membacanya, ternyata nggak. Nggak sama sekali. Ya emang ada yang menggelikan karena hyperbole tapi kebanyakan enggak. Awalnya tulisan itu emang buat seseorang, tapi setelah kubaca lagi, tulisanku itu pada akhirnya justru buat aku. Aku jadi mengerti kenapa teman-temanku dulu bilang ke aku kalau mereka sedikit nangis waktu membacanya karena kalau menulis tuh aku seringnya ga langsung bisa memproses rasa sih. Perlu waktu buat berjarak dari tulisanku baru aku bisa baca dari POV pembaca bukan penulisnya. Wow sungguh remaja yang raw. Optimis dan tabrak sana-sini. Sisi itu yang akhir-akhir ini mau kutemui lagi. Proses baca ulang tulisan lamaku kadang juga jadi prosesku buat nulis yang selanjutnya. Seringnya sih kulakukan untuk ngecek karena aku merasa kalau idea yang kubawa di satu tulisanku sama tulisan lainnya intinya sama aja wkkwwkkw ternyata gak sih…beda….mungkin bias juga.
Baca ulang sebuah buku rasanya seperti ketemu sama aku melalui teman-temanku. Seperti ngelihat proses evolving. Ada yang masih sama, ada yang udah total gak ada, maupun yang berubah. Menemukan yang baru dari yang lama.
20/02/2025
Sincerely,
F.