Aku nggak tahu efek spesifiknya kenapa aku suka Jogja, kayaknya sih efek Jogja yang dimuat di buku-buku puisi, novel, dan film-film yang kusukai. Kombinasi antara seni, budaya, kerja kolektif, dan…………………………………….cinta. Nah, pemahaman itu masih ada sampai sekarang meskipun aku juga mulai mengerti bahwa tiap daerah tentu punya dukanya sendiri. UMR minimum, Wadas melawan, Klitih, dan yang nggak tertangkap media.
Sebelum berangkat naik motor ke Jogja berempat, kami makan dulu di Berkah. Tempat nongkrongnya Nana yang isi menunya adalah indomie, telur orak-arik, dan nasi magelangan. Nasi magelangan adalah nasi goreng. Harganya sangat amat terjangkau dan buka 24 jam. Pengakuan dari Nana, temannya ada yang 24/7 di Berkah.
Potret 1: Isi Pondasi di Berkah
Millata, aku, dan Anjel pesan magelangan, sedangkan Nana pesan ayam kremes. Isi pondasi sampai siang….
Setelah isi pondasi, sudah jam setengah 10, hari mulai panas, aku dibonceng Millata sampai Jogja wkwkwk, kami menempuh beberapa jalan gajrukan dengan waktu tempuh Solo-Jogja, tepatnya sampai di lokasi kedua, yaitu Arka Coffee and Space, nggak sampai 2 jam.
Potret 2: Arka Coffee and Space
Arka ini rekomendasi dari Millata. Lokasinya di Jalan Tamansari, jadi nggak heran kalau siang hari sering ramai pengunjung yang datang untuk rehat setelah capek dari keliling Taman Sari. Tempatnya adem, banyak pohon, dan bangku-bangkunya pun ada yang modelnya mengelilingi pohon. Kami memilih bangku di dekat rak buku karena letaknya dekat juga dengan toilet dan CERMIN biar bisa pakai make up.
Kami hanya pesan minum karena belum lapar (pondasi tadi di Berkah kuat juga ya wak). Satu lokasi dengan Arka, ada Bawa Buku.
Potret 3: Bawa Buku
Bawa Buku adalah toko buku yang satu atap dengan Arka. Jadi, bisa sekalian nyari buku nih kalau ke sini. Menurutku sangat strategis sih, bisa menimbulkan penasaran ke pengunjung Taman Sari yang singgah dengan latarnya tentu beda-beda. Space-nya memang nggak terlalu luas, tetapi sungguh rapi, dijajarkan berdasarkan penerbit, dan koleksinya menurutku mantap sih. Mereka menjual buku-buku yang biasanya nggak ada di toko buku besar. Salah satu yang akan menemanimu namanya Andy. Dia akan menemanimu nyari buku sampai buku yang kamu inginkan beneran dapat. Aku dan Millata lama banget berbincang dengan Andy dari satu buku ke buku lain di sini. Andy sungguh sabar meskipun kami ngeberantakin buku-buku di Bawa Buku wkwkwkw.
Setelah kebingungan yang lama karena kau sebenarnya juga kebanyakan minat sampai bingung yang minat beneran yang mana, akhirnya aku dapat 2 buku. Cerita-Cerita Lumbung dan Ekonomi Kebebasan Alternatif Anarko-Sindikalisme Atas Kapitalisme. Millata dapat buku juga yang aku lupa judulnya.
Tidak jauh dari Arka, kami mengunjungi Artjog.
Potret 4: Artjog
ARTJOG MMXXII — Arts in Common:
Expanding Awareness
7 Juli — 4 September 2022
Begitu informasi di bio instagram @artjog.id, letaknya di Jogja National Museum. Seperti temanya, pameran kali ini benar-benar menumbuhkan kesadaran baru mengenai hidup, seperti climate change, kepunahan, ketidakadilan sejarah, perlunya inklusivitas dalam kesenian, bahwa seni ya untuk bersama, sampai relasi ketuhanan yang intim. Melalui deskripsi karya yang ditampilkan, adalah membaca interpretasi yang ingin disampaikan oleh pembuat karya. Beberapa karya pun sifatnya interaktif, seperti main stample, ngelukis harapan di kain, dan menyusun balok kayu.
Yang membuatku takjub, seniman yang karyanya ditampilkan benar-benar beragam, nggak peduli apakah dia memang seniman, usia tua maupun muda, bahkan yang dianggap memiliki keterbatasan pun diluangkan ruang untuk berkarya. Salah satu kalimat yang masih kuingat adalah bahwa setiap manusia memiliki kepekaan artistik dan kreatif dalam dirinya.
Mengitari 3 lantai ternyata capek dan bikin lapar pol, kami memutuskan untuk ke penginapan dulu. Nah, penginapan ini kami dapat dengan harga sangat murah, yaitu 105 ribu semalam, dengan kapasitas 2–4 orang. Kekurangannya adalah ADA KECOA MALAM-MALAM MUNCUL dan poop cicak….shock…
skip.
malamnya, makan lalapan dan ke Tempo Gelato.
Potret 5: Tempo Gelato
Dari berangkat 4 orang, malam itu di Tempo Gelato jadi 7 orang yang terdiri dari teman-teman SMA-ku dan teman-teman SMA-nya Nana. Lucu sih kami duduk di meja bundar jadi ingat Konferensi Meja Bundar…tapi ini acaranya makan es krim. Pertemuan ini nggak direncanakan sama sekali. Mungkin emang hobinya Nana berkabar ke SEMUA temannya kalau dia lagi berkunjung ke suatu kota. Dengan begitu, kami kayaknya berjejaring sih…. ya meskipun lumayan awkward karena beneran nggak kenal wkwkwkw. Gelato yang kami pesan pun sama semua, yaitu tipe cone jadi bisa dimakan….kata Millata dan Nuha rasanya seperti opak garut, tapi aku malah ingat regal???
Dari Tempo Gelato, Nana dan Anjel akan pulang duluan ke Solo, sedangkan aku dan Millata tetap di Jogja. Kami mengajak Nuha untuk tidur bareng di penginapan.
Sampai pukul 2 pagi, aku masih cerita-cerita sama Nuha, sedangkan Millata tidur. Kami ngobrol banyak hal karena udah 2 tahun nggak ketemu. Tentunya banyak yang berubah, banyak juga yang baru kuketahui maupun yang Nuha ketahui tentang hidup masing-masing. Lagi-lagi aku kembali teringat bahwa memang setiap orang punya cerita. Cerita-cerita sampai larut begini mengingatkanku waktu zaman masih jadi murid asrama.
Esok harinya pukul setengah 9, kami bertiga berkemas untuk check out dan ke kos Nuha. Sebelum itu, makan soto dulu. Iya, ceritanya pindah tempat tidur untuk malam itu lalu aku dan Millata ke Sendangsono.
Potret 6: Sampai di Sendangsono
Menuju ke Sendangsono dari kos Nuha dapat ditempuh dalam waktu 1 jam. Aku full dibonceng Millata kdkdwjd memang dia ini strong woman mampu melewati gajrukan maupun tanjakan di sepanjang jalan menuju ke sana.
Sampai di Sendangsono, aku membeli bunga tanpa tahu fungsinya untuk apa. Aku hanya menduga akan ada banyak spot untuk meletakkan bunga tersebut. Kami pun melewati gapura “selamat datang” untuk kemudian melalui jalan setapak. Men, aku ngga bisa mendeskripsikan seperti apa tempat ini, kamu bisa google sendiri, ok?
Aku sama Millata mencerna keadaan dulu dengan duduk-duduk di semacam gazebo (?) kayu. Mencerna keadaan, lihat sekeliling, dan mikir kenapa sih kita ke sini selain karena kepengaruh sama film 3 Hari untuk Selamanya?
Setelah mampu mencerna keadaan, yang sebenarnya ya masih ngga tahu kenapa ke sana, kami mulai berkeliling dan takjub banget karena beneran sinkron antara tulisan dengan kenyataan. Hampir di setiap sudut ada tulisan “kawasan hening” dan memang, yang akan kamu dengar di Sendangsono adalah langkah kaki dan gemercik air.
Potret 7: Sendangsono Berkisah
Ada wilayah di Sendangsono yang jalannya terdapat relief kisah Yesus. Di relief-relief tersebut, tersedia lilin pula untuk (mungkin) berdoa. Relief-relief itu apabila disatukan akan membentuk kisah penyaliban Yesus. Aku setuju dengan kata Millata bahwa relief yang berkisah ini salah satu komponen menarik di Sendangsono. Selain itu, kami temui kapel-kapel, patung Yesus yang besar (juga untuk berdoa), dan kompleks perziarahan yang arsitekturnya menarik sekalii, karya YB.Mangunjiwa (Romo Mangun).
Potret 8: Goa Maria dan Mereka yang Berdoa
Ini bagian paling bikin aku speechless. Goa Maria dengan bunga-bunga, lilin-lilin yang menyala, dan orang-orang yang berdoa dengan hening. Di sini, aku dan Millata sepakat bahwa kami tak merasa asing sekalipun terlihat jelas bahwa identitas keagamaan kami berbeda. Yang ada hanyalah ketenangan di bawah naungan pepohonan yang rindang dan keheningan yang turut menelusup sampai ke relung. Kami beneran ikut duduk bersama mereka yang berdoa. Aku hanya bengong dan rasanya campur aduk. Bingung, inget Allah, tenang, dan perasaan yang masih aku coba uraikan. Ternyata, bunga yang tadi aku beli itu untuk ditaruh di dekat Goa Maria. Aku dan Millata pun menaruh bunga itu di sana dengan tenang.
Sendangsono menjadi tempat paling membekas di hatiku dari perjalanan kali ini.
Turun dari Sendangsono, kami menuju kecamatan Minggir, Sleman, DIY.
Potret 9: Warung Murakabi Minggir
(Aku nulis ini pukul 2 pagi dan semi-semi ngantuk tapi aku ingin bercerita. wkwkkw)
Warung Murakabi tempatnya cukup terpencil sih menurutku, harus masuk gang. Adalah definisi hidden gem. Nggak banyak orang tahu, review di google masih dikit, dan kami buktikan sendiri dalam rentang pukul 2 siang sampai setengah 4 di hari Sabtu waktu kami ke sana, hanya kami pengunjungnya. (oleh karena itu ayo ke Murakabiii).
Kamu akan disambut dengan 2 joglo yang super homey, nuansa kayu, dan banyak yang ikut bertumbuh. Mbakyu yang ada di sana pun saat itu berkain. Sungguh berbudaya rasanya waktu ke sana wkwkwkkw.
Murakabi ternyata artinya adalah “mencukupi” atau “nyukupi”, marupakan bahasa Jawa kuno yang biasanya terdengar saat kenduri. Seriusan aku belum pernah dengar. Kukira penamaannya ada hubungannya dengan dari Haruki Murakami…. Filosofi di balik nama “Murakabi”, yaitu tercukupinya kebutuhan yang dihasilkan dari alam sekitar, yaitu kecamatan Minggir. Bahan-bahan yang menjadi menu di Murakabi pun adalah hasil kerja kolektif masyarakat Minggir dan sekitarnya.
Potret 10: Apa yang Kami Pesan
Kami memesan nasi bakar, jajan mirip cireng isinya sambel tempe, kombucha, tumeric latte, dan wedang imun. Sungguh lapar mata karena menu yang ditawarkan otentik dan nggak biasa kami temui di warung-warung lainnya. Nasi bakarnya berwarna biru dari bunga telang, ikannya banyak, dan rasanya kuat. Kombuchaku adalah kombucha telang sedangkan Millata kombucha jenis lain (aku lupa), rasa kombucha yang disajikan dingin ini sangat segar. Selanjutnya, Tumeric latte adalah kunyit yang dikasih susu, wedang imun adalah minuman isinya kayu manis, temulawak, dan tumbuhan herbal lainnya, keduanya disajikan hangat. Harga semuanya 15 ribu saja…..sudah dapat makanan sehat…….
Potret 11: Yang Ikut Tumbuh
Warung Murakabi menjadi tempat tumbuh banyak organisme, seperti kucing, ayam, bunga telang, dan kebun mereka yang ngga tertangkap kamera. Berkesempatan mengunjungi Murakabi terasa hangat sekali. Rasanya seperti melihat secara nyata bahwa modernisasi telah merubah berbagai kedalaman makna. Seperti bagaimana mencintai alam dan tubuh.Seperti pentingnya kerja bersama. Aku pernah baca (Millata juga), bahwa masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang bersama. Di masa kini, aku terbilang susah untuk merasakan konsep itu karena hidup terasa seperti kompetisi atas pencapaian manusia dengan manusai lain.
Warung Murakabi Minggir, jalan-jalan yang telah kami lalui menuju ke sana, Sendangsono, Artjog, Arka, Bawa Buku, dan Rekam Perjalanan di bagian pertama, menumbuhkan dan turut membentuk aku, Millata, dan Nana. (Nana yang bagian dia ikut aja).
Entah kapan berkesempatan seperti ini lagi.
Terkenang, entah sampai kapan. Yang pasti, dengan menulis ini, aku harap bisa menjadi cerita yang terkenang sampai…………………nanti.
Sampai bertemu di perjalanan berikutnya. :>
Potret 12: Aku dan Helm Monyet (jangan dicontoh, ini nggak SNI)
25/08/2022
Sincerely,
f.