Nana bilang perjalanan kali ini adalah perayaan ulang tahun karena kami sama-sama berulang tahun di bulan Agustus. Anggap saja begitu, maka ini adalah rekaman perjalanan yang akan menjadi cerita untuk lagi-lagi dikenang.
karena semua, punya cerita.
Selepas pandemi ini, aku kembali diingatkan kalau berjalan bersama dengan orang yang punya ikatan emosional denganku itu menyenangkan.
Ada 2 kota tujuan, yaitu Solo dan Jogja. Keduanya sebenarnya masih sungguh asing di kepalaku, tetapi nyatanya, kalau ada seseorang yang kukenal di kota tersebut, aku jadi nggak merasa asing. Perjalanan kali ini dimulai dengan keruwetan pikiran karena ujian-ujian perkuliahan yang banyak banget itu.
HARI 1.
Aku ke Solo naik kereta dan sampai di jam 8 pagi. Dari Stasiun Balapan, Millata menjemput dan kami pun makan nasi liwet di belakang kampus ISI. First impression-ku, harga makanan di Solo lebih murah jika dibandingkan dengan di Surabaya. REAL. Ga banyak komentar tentang nasi liwetnya yaudah seperti nasi liwet bedanya di Solo pakai areh (ini lihat di vlog Ria SW), semacam kelapa gitu.
Setelah bersiap-siap, sesuai itinerary yang udah disusun, HAHAHAAH ngasal sih nyusunnya, kami ke Keraton Kasunanan Surakarta. Dominasi warnanya biru, kompleks menuju keraton banyak yang jualan, ada kacamata, helm, dan yang lagi populer ES COKLAT. Sampai akhir belum kesampaian nyoba.
Potret 1: Keraton Kasunanan Surakarta
Nah, sampai sana, ternyata TUTUP. Meskipun tutup, wilayah keraton masih tetap rame orang-orang menikmati kuliner sembari lihat keraton…..aku dan teman-teman foto-foto aja di depan. Bisa dimengerti sih keraton tutup karena hari itu tanggal 17 Agustus wkwkwk. Kata Nana, waktu ada acara oleh keraton, tempat tersebut akan ramai bahkan tamunya sampai jauh dari luar kota. Waktu ditanya ada acara apa, tiap orang yang ditanya Nana akan jawab bahwa mereka ikut-ikutan. KENAPA GITU YA..penasaran.
Siang itu menurut kami sangat terik dan ke Pasar Gede adalah destinasi cari makan yang juga menambah terik. Akan tetapi, kami tetap ke sana karena mau makan dimsum enak. Wah, aku suka sekali wilayah Pasar Gede ini. Pasar ini terdiri dari 2 bangunan yang terpisah oleh jalan, dengan masing-masingnya terdiri dari 2 lantai, masih bergaya kolonial, tetapi vibes pecinan dengan campuran jawanya kuat. Di selatan Pasar Gede, ada kelenteng Vihara Avalokiteśvara Tien Kok Sie.
Potret 2: di Pasar Gede
Sayangnya, aku ngga memotret lanskap Pasar Gede padahal berkali-kali lewat. Potret di atas itu waktu kami makan dimsum di lantai 2 Pasar Gede. Antreannya panjang dan karena saat itu jam pulang sekolah, banyak kami temui pelajar yang juga nongkrong di Pasar Gede. Fenomena nongkrong di pasar baru pertama kali kutemui di sini. Kayaknya gara-gara emang buat sentra kuliner juga.
Setelah solat di Masjid Keraton, kami menuju ke Kampung Batik Kauman. Kampung wisata ini terletak tak jauh dari jalan utama Slamet Riyadi dan Jalan Rajiman. Sepanjang menyusuri gang-gang ini, arsitektur bangunannya estetik. Ada yang bergaya kolonial, joglo, dan limasan. Di kanan kiri, kamu akan melihat rumah industri khusus untuk pembuatan batik dan dapat berinteraksi langsung.
Potret 3: Kampung Batik Kauman
Berbagai produk batik ditawarkan di sini dengan rentang harga yang bermacam-macam pula. Bedanya dengan Pasar Klewer kalau di sini jelas tidak bisa ditawar. Di Kampung Batik Kauman juga bisa belajar untuk membatik, tapi kami kemarin tidak. Selain itu, di toko yang kudatangi juga menjual makanan dan minuman khas jawa, spesifiknya khas Solo.
Niatnya, setelah dari Kampung Batik, kami akan minum es coklat cocol, tapi ternyata sore itu, sekitar jam 3, sudah habis. Akhirnya kami minum es kapal langganan Nana yang terletak di Jalan Sriwedari.
Potret 4: Es Kapal Jalan Sriwedari
Dengan harga 5 ribu, dapat segelas es yang isinya coklat, santan, dan ada hint rasa tape, disajikan dengan roti dicelup. Lagi-lagi di sini tempat nongkrong kawula muda habis upacara penurunan bendera.
Waktu kami menikmati es kapal, ada mbak dan mas sales marketing yang menawari buka akun bank. wah, meskipun trouble berkali-kali mereka tetap gigih nggak nyerah. Danti pun ngajuin minta sponsor effortlessly dong wkwkwk. emang kesempatan datangnya random.
Untuk hari kedua, hanya ada aku dan Millata. Nana dan Danti menjadi panitia ospek fakultas jadi nggak bisa ikut.
Potret 5: Rawon Penjara Bu Har
Mengawali hari kedua pukul setengah 10 dengan makan rawon dekat RUTAN Klas 1 Jalan Slamet Riyadi, Surakarta, hence namanya dia Rawon Penjara. Millata mengetahui rawon ini rekomendasi dari dokter Aan di twitter. Tempatnya persis di sisi timur pejara tersebut dan sangat sederhana, yaitu berupa tenda dengan kursi memanjang. Waktu kami ke sana belum terlalu ramai pengunjung. Pelayanannya cepat, aroma dan rasanya kuat, dagingnya empuk. Best part adalah ditambahkan kemangi, tauge, dan sambal. Penambahan kemangi ini menurutku jadi khas dari rawon yang kumakan di Jawa Timur. Harganya pun sangat amat affordable. 20 ribu sudah dengan es jeruk.
Dari rawon, kami melanjutkan ke Puro Mangkunegaran. Sengaja hari ini berbatik biar ,,,,,kalcer.
Potret 6: Pura Mangkunegaran
Jadi, Kerajaan Mataram Islam pecah menjadi 2 wilayah, yaitu di Jogja dan Solo. Di Solo, pecah lagi menjadi 2, Kraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Mangkunegaran I adalah Raden Mas Said.
Masuk ke sini akan ada guide yang bercerita tentang Mangkunegaran dan memandu perjalanan kami di sini.
Pura Mangkunegaran dominan warna hijau mint. Awal masuk disambut dengan Pendopo dengan 4 pilar utama yang menyangga dan 4 kelompok gamelan yang akan dibunyikan hari Rabu dan Sabtu. Sayangnya, kami ke sana hari Kamis. Masuk ke dalam, adalah Dalem Ageng. Di sini sudah tidak boleh memotret. Ruangan ini dulu berisi kamar permaisuri dan kamar raja. Kini jadi tempat memamerkan koleksi-koleksi Mangkunegaran, mulai dari perhiasan, senjata, pajangan, uang kuno, pemberian kerajaan maupun negara lain, sampai alat antik yang hanya ada di zaman dulu, yaitu alat yang dipercaya antiselingkuh. Alat itu hanya dipakai sampai Mangkunagara VII, karena setelahnya sudah modernisasi.
Lanjut berjalan ke luar, taman Mangkunegaran dengan pohon-pohon berbunga, semak-semak, dan jalan setapak menuju air mancur di tengahnya, dikelilingi patung-patung klasik ala Eropa. Hijau dan rindang sekali. Terlihat juga area privat taman untuk keluarga keturunan Mangkunagara. Kata Millata, vibe taman ini seperti berada di film-film Ghibli.
Yah, sisanya bisa kamu temukan waktu kamu ke sini.
Aku dan Millata merasa seperti WOAAAH kami ini warga biasa juga ya wak ternyata wkwkwk, yang ga keturunan kerajaan mana pun. Sangat bersyukur di zaman sekarang pendidikan sudah lebih bisa dijangkau siapa saja. Untuk pemerataannya, meskipun masih keos, tapi semoga kelak menjadi inklusif dan sama.
Tempat selanjutnya masih di wilayah Pura Mangkunegaran, yaitu Perpustakaan Rekso Pustoko. Kukira hanya untuk anggota kerajaan, ternyata bisa untuk umum sekalipun ngga mampir ke Pura Mangkunegarannya.
Potret 7: Perpustakaan Rekso Pustoko
Perpustakaan Rekso Pustoko menyimpan arsip-arsip penting, manuskrip jawa, dan juga buku umum. Waktu kami ke sana dan masuk ke ruangan yang menyimpan manuskrip, kami ditunjukkan salah satu manuskrip yang berisi perhitungan wuku, isinya full aksara jawa dengan gambar wayang, peliharaan, tempat tinggal, dan tumbuhan yang menjadi representasi bagaimana persona seseorang yang lahir di wuku tersebut.
Terdengar seperti ramalan sih, tapi, dalam prosesnya, ternyata juga melalui riset. Wah, emang tiap masyarakat dan lingkungan hidupnya itu membentuk pengetahuannya sendiri.
Potret 8: es beras kencur MN dan rica ISI
Kami beristirahat sebentar di warung yang berada satu wilayah dengan Mangkunegaran untuk mencoba es beras kencur dan menikmati gorengan. Es beras kencur khas Mangkunegaran diberi perasan jeruk nipis. Rasanya jadi lebih segar dan “keluar”. Untuk gorengannya menurut kami enak, kurangnya adalah nggak fresh dari penggorengan, jadi kurang krispi. Di warung ini juga menjual aneka sayur dan nasi.
Selanjutnya, kami makan di Warung Rica Bu Sartini, dikenal sebagai Rica ISI karena letaknya dekat kampus ISI. Letak warung ini masuk-masuk ke dalam gang yang naik-turun. Harganya juga sangat terjangkau, yaitu 12 ribu saja sudah sama minum. Rasa seperti makan ayam kecap tapi PEDES BANGET SAMPAI NDOWER dan kaya rempah.
Potret 9: Pancong dan Teater Terbuka
Malamnya, aku dan Millata makan pancong di sekitar ISI. Ala-ala remaja yang ikut nongkrong di sekitar teater terbuka ISI. Pancongnya 8 ribuan dengan topping yang ga pelit. Baru pertama kali aku mencoba pancong dan benar kata Millata rasanya mirip pukis.
Kebetulan sekali waktu kami duduk sambil menikmati pancong, anak-anak ISI sedang latihan teater di Teater Terbuka. Tempatnya seperti dikelilingi oleh tribun (?) jadi bisa ditonton. Dan paginya kuketahui memang benar, dinamakan “Teater Terbuka”.
whaahwha apakah mereka merasakan kebebasan itu, ya? seringkali aku menemui orang masuk ke suatu jurusan kuliah bukan karena dia minat, tetapi hanya karena “prospek kerja” dan memilih jurusan seni menurutku mereka sangat berani dan merdeka, ngga termakan kata-kata “prospek kerja”.
Selama kami duduk di situ, banyak sekali pengamen yang nyanyi Ojo dibanding-bandingke….
Untuk 2 hari ini, aku dan millata kebanyakan ngomong KALCER. yaudah sih…. ya,…. ya gitu.
Sampai bertemu di rekam perjalanan 2.