Aku sebetulnya khawatir banget dengan keseharianku yang nggak sehat karena males olahraga dan makanan yang aku konsumsi sangat amat los. Akhirnya kuputuskan untuk at least waktu di kampus menuju ruang kelas harus jalan kaki dari parkiran motor. Nggak boleh naik lift. Nggak berat-berat banget sih dan terhitung minim malah, tapi ya kubilang tadi, at least. minimal men.
Mei kemarin aku ngerasa keos banget sama hidupku (sebetulnya aku sering ngerasa gini, tapi Mei-Juni-JULI ini sepertinya sungguh parah, atau kayaknya sih karena sesuatu ini belum pernah kualami jadi aku ngerasa baru dan ya, keos bagiku). Lalu aku mulai cari-cari sesuatu untuk istirahat dari aspek keos itu. Begitu pikirku. Akhirnya aku nemu irisan antara hal-hal yang mau aku lakukan, yang kusukai, dan yang bikin aku gerak: jalan dan cerita. Dan keduanya diwadahi oleh Bersukaria, salah satu penyedia Walking Tour di Surabaya.
Konsepnya adalah jalan sambil bercerita. Inget ya, bareng storyteller bukan bareng historian. Kita akan jalan melewati rute tema di sesi itu sembari diceritakan kisah-kisah di balik bangunan-bangunan yang kita lalui. Dari mulai kisah terbentuknya, perkembangannya hingga seperti hari ini bagaimana, kisah mistisnya, mitosnya, hingga filosofinya. Dalam satu rute akan barengan dengan orang lain. Kalau mau nambah teman sangat amat bisa tapi selama ini aku cuma berakhir ya saat rute itu alias sampai sekarang gak inget namanya, tapi akan inget wajahnya.
Aku sebenernya ngoceh apa ya…..aku mau nulis tempat-tempat yang memorable selama aku ikutan Walking Tour sih. Sejauh ini sudah ikutan 4, rute Keraton Surabaya, Kota Eropa, Suka Jajan Ampel, dan Kampung Peneleh. Nah kan mana aku tahu kalau Surabaya dulunya pernah punya keraton kalau aku ga ikutan Walking Tour? Mana aku tahu kalau daerah yang jauh dari kosku peninggalan kolonialnya sangat masih ada sampai sekarang? mana akuu sangka kalau Soekarno hidupnya sebenernya di situ-situ aja di area Surabaya kalau ga ikutan rute Kampung Peneleh? Yah, ini hyperbole sih….YA GA JUGAAA. beneran begitu. Tapi aku refleksikan juga, aku ga harus tahu itu semua kok, tapi kalau aku mau tau, ya juga boleh banget….bingung ga? ya.
Potret I: Cafe di Tengah Gang
Sangat amat hidden. Nylempit di gang. Dari titik kumpul, kita jalan ke gang-gang lalu nemu cafe ini. Saat itu masih pagi jam 8-an dan belum buka, tapi pemiliknya lagi duduk di depan dan bilang kalau kami mau mampir akan dibuka. Menariknya, daerah sini itu ada tempat dicetuskannya logo NU, tapi yang kulihat penduduknya justru juga diversitas dengan chinese. Beberapa rumah pagarnya masih tinggi, tertutup teralis, karena bertepatan dengan Mei, aku jadi ingat tragedi Mei’98 yang tentu traumatis men. Waktu berjalan dikit mau keluar gang, ada ibu-ibu salah satu rumah dengan teralis tinggi ituu yang keluar dan ngobrol, ibunya bahkan tahu tentang potensial adanya kraton di Surabaya terus diceritakan juga kalau nenek-kakek beliau udah tinggal di rumah itu. Rumahnya cantikk, warna pink, teralisnya masih tinggi sih (mungkin karena Mei’98, ini aku ga tanya), dan APA YA ada space kecil di samping rumah utama untuk keluar rumah gitu.
Potret II: (Dugaan) Jejak Kraton Surabaya
Di rute ini, aku baru tau kalau penamaan jalan sekarang itu asalnya dari zonasi, misalnya Jl. Kepatihan, itu dulunya untuk tempat tinggal patih-patih kraton, kira-kira gitu. Salah satu dugaan apakah mungkin di Surabyaa dulunya ada Kraton karena ada jalan ini. Jl. Kraton, dan pas banget di sekelilingnya itu ada Jl. Kepatihan. Ya….mungkin biar patihnya deket (dan ngelindungin) area kerajaan?.
Potret kanan diduga untuk ngawasin kalau ada apa-apa.
Potret III: Gevleugelde Leeuw Gebouw in Soerabaia
Disebut juga Gedung Singa karena ada patung singanya dan disebut Algemeene waktu zaman Belanda. Dulunya, area sini disebut Willemskade atau Pelabuhan Kecil. Disebut begitu karena area perdagangan di sekitar Sungai Kalimas, kalau sekarang patokannya Jembatan Merah. Arena ini lantas jadi sentra perdagangan. Dari kantor-kantor dagang, perbankan, dan kantor asuransi. Salah satunya Algemeene ini, dulunya adalah perusahaan asuransi.
Rute Kota Eropa titik beratnya menurutku adalah menelusuri area Willemskade inii, jadi kalau suka dengan bangunan megah zaman Belanda, akan suka dengan rute ini karena isinya reaaaaaaaal gedung-gedung perdagangan. Aku ikutan rute pagi dan bisa diprediksi bahwa SANGAAAAT PANAAAAS karena selain Surabaya yang emang panas di hari itu, rutenya telusur gedung-gedung gede sampingan jalan raya, minim pohon, kendaraan rame, polusi wow jelas. Saranku bawa topi dan PAKE MASKER.
WKWKWK aku penasaran apakah kalau Chairil Anwar hidupnya di Surabaya, puisinya Senja di Pelabuhan Kecil buat Sri Ajati ituu lokasinya akan bertempat di Willemskade ini (Kalimas date) atau Kenjeran yah…
Potret IV: Penjara Kalisosok
Penjara zaman kolonial yang menyekap “pembangkang” bagi mereka, ga cuma pribumi. Tapi semua yang dianggap nggak sejalan dengan agenda mereka. Beberapa di antaranya ada H.O.S. Tjokroaminoto, Soekarno, Kwee Tiam Tjing, W.R. Supratman. Sekarang dijadikan cagar budaya. Melansir dari vice, penjara ini sempat dijadikan kos-kosan. Padahal dianggap angker dan sumpek banget. Per bulannya 130 ribu, ukurannya 1x1,5 meter. Apa gakkkk kesempitan menn????
Pertanyaan selanjutnya, se-underpaid apa ya sampai rela ngekos di tempat begitu :”). Sangat amat nampak kesenjangannya sama gedung-gedung tinggi di Tunjungan, atau anggapan kalau Surabaya mahal (ya emang iya), itu benar adanya. Tapi men, untuk bilang “tempat begitu” aja udah nimbulin ga enak di hati gara-gara ya mungkin menurut mereka itu woke, sekadar untuk istirahat dari lelahnya hari. Demi biar bisa hidup. Sedih amat negara ke mana y.
Kadang emang pilihannya begitu yah…TAPI JAHAT BANGET U nge-underpaid anak orang???? @pemegangkekuasaan. Aku baca dari vice. Ada TV untuk kumpul dan ajojingan bareng kalau lagi nyetel dangdut di tengah ruang-ruang gelap dan pengap. Aku kalau baca ini inget setitik cahaya di ujung terowongan.
Potret V: Jalan dan Jajan
Aku ikutan rute ini dengan impulsif setelah kelarin proker. Rutenya namanya Suka Jajan: Timur Tengah, lokasinya di daerah Ampel. Karena emang namanya “Suka Jajan”, fokusnya ya….jajan. Tapi tetep sambil cerita. Sayangnya waktu itu sate karak nggak buka. Padahal menarik sekali sepertinya. Nasinya diganti dengan ketan hitam, terus satenya nggak pakai bumbu kacang. Katanya satu-satunya di Surabaya. Terus aku kebayang-bayang roti maryamnya sih, sayang ga coba. Aku mencoba sambosa, aromanya mirip sambel ijonya nasi padang, tapi lebih kuat. Rasanya rempah, tapi nggak nyengat meskipun aromatik banget. Nggak kayak sambel kita yang dari aromanya kebayang pedesnya kayak apa.
Kebetulan di rute ini pesertanya saat itu either sendirian atau berkeluarga yang bawa anak gitu. Aku sendirian, bareng sama mbak-mbak dan mas-mas yang aku lupa namanya yang juga sendirian. Storyteller yang kudapat sama kayak waktu Rute Kota Eropa wkwkw. Namanya sinonim sinar matahari. Waktu akhir rute, ngemper buat minum Es Permen Karet. Nggak semanis yang pernah kuminum untungnya.
Potret VI: De Begraafplats Peneleh
Waktu aku SMP, pertama kalinya aku baca novel Klandestin karya Lovita Cendana dan aku suka banget sama Nala Anarki, Nirbita Arunika, dan dunianya. Salah satunya latarnya Surabaya dan nyinggung tentang Kuburan Peneleh ini. Kuburan Belanda tertua di Indonesia. Oleh karena itu aku bertekad dong buat ke Peneleh dan lihat langsung kuburannya kayak gimana, nah, baru berkesempatan waktu kuliah ini wkwkwkw. Cakep sih men kuburannya, sayang nggak bisa semua orang masuk karena pernah ada yang nyuri marmer dan harta yang dikubur gitu. Tapi tahu nggak sih bahwa di tempat yang untuk orang-orang mati ini, masih memberi kehidupan buat warga sekitar. Alias dibuat jemur baju dan bocil main layang-layang. Lucu banget. Tapi ya gitu, kurang terawat jadinya.
Besar dan mewahnya nisan merepresentasikan peran manusia itu selama hidup. Tier atas adalah pemuka agama sama pemimpin seperti gubernur ataupun bupati. Salah satu yang dimakamkan di sini ada Pastor Martinus van Den Elzen SJ dan biarawati-biarawati ursulin, yang kemudian membentuk Sekolah Santa Maria Jl. Darmo.
Potret VII: Toko Buku Peneleh
Dari seluruh spot di Peneleh, yang menarik bagiku selain De Begraafplats Peneleh adalah ini, Toko Buku Peneleh. Dia toko buku pertama di Indonesia. Alasan terbentuknya karena zaman dulu pendidikan kan sangat eksklusif yah, nah, toko buku ini sebagai upaya inklusivitas tersebut. Lokasinya dekat sama rumah H.O.S Tjokroaminoto, anak-anak kosnya termasuk Soekarno sering ke sini. Sampai sekarang toko buku ini masih buka dan terawat banget sih. Buku yang dijual tentang nasionalisme dan Syariat Islam. Terus juga jualan Nasi Babat….
Potret VIII: Yang Ada di Peneleh
Peneleh ini unik banget, sejarahnya ada, budaya kental, diversitas juga. Dari segi sejarah, ada Makam Belanda, terus sejarah dari nama “Peneleh”, Rumah H.O.S Tjokroaminoto yang jadi tempat kos abang-abangan kampus, dan rumah lahir Soekarno. Iya, Soekarno lahir di Surabaya. Fakta ini baru kuketahui karena selama ini aku taunya Soekarno lahir di Blitar. Dari segi budaya dan diversitasnya, kalau diperhatikan, ada Komunitas Bali dan Muhammadiyah ataupun NU di sini juga bersebelahan. Terus uniknya lagi, kayaknya ini cuma kutemui di Peneleh sih, makam di tengah gang. dan itu banyak nggak cuma di satu gang aja aku ketemu makam.
Potret IX: Setelah Bersukaria
Seteleh jalan dan cerita, kita akan dapat stiker sebagai tanda telah menyelesaikan rute. Dari aplikasi tracking di HP-ku, sekitar 6000-8000 langkah bisa ditempuh lahhhh dari ikutan satu rute. Durasinya sekitar 2–3 jam. Aku seneng karena bisa berjalan sambil dengerin cerita. Seperti yang kubilang, aku mau ngelakuin sesuatu yang beririsan antara hal-hal yang kusukai dan bikin aku gerak, alias ga nyiksa.
Awalnya waktu jalan/trip aku sering mikirin tentang hidupku WKWKKWW yaahhh keresahan-keresahan kalau tubuh lagi tiba-tiba santai kan sering muncul, begitu pula waktu aku jalan. Tapi men, kalau dipikir lagi yaudah sih hidup ya gitu-gitu aja, hidup walaupun lagi oke, lagi mundane, atau lagi keos, ya…tetep hidup. Jalan terus intinya. Perihal ujung jalan yang kita nggak tau akan sampai langkah ke berapa atau wujudnya gimana, ya….yaudah?
Katanya, hidup belum hidup kalau nggak diromantisasi gila-gilaan. Adalah benar dan berlaku untuk jaga kewarasan. Menurutku, terma meromantisasi hidup bisa sebagai upaya kita bersyukur. Tulisan ini niatnya mau jadi refleksi selama ikutan “walking tour” tapi aku males nulis ulang karena sudah kutulis di jurnal personal ahahahaa.
Sampai jumpa kapan-kapan di halaman yang lain.
Sincerely,
F.
Yang baru aja kelar ujian-ujian.
21/07/2023