Stranger to Yourself
Terakhir kali aku mencemaskan hari-hari menuju hari lahir adalah 3 tahun lalu. Sekarang kecemasan itu muncul lagi. Akhir-akhir ini (nggak sih, sebenarnya keresahan ini udah lama ada), aku lebih intens dalam kelimpungan khas dewasa awal. Intinya sih yearning akan banyak hal.
Tulisan ini lahir dipantik oleh “Menjadi”-nya Afutami, “Man’s Search For Meaning”-nya Frankl, “Mendefinisikan Rindu” dan “Kelindan Basis dan Identitas”-nya Gregorius Faiz, Tumblr Rara Sekar dan Ben Laksana, dan cuap-cuap tiap hari via WhatsApp sama Millata dan Lathifa.
Aku
Seorang “aku” tersusun atas identitas-identitas yang membentuk lapisan-lapisan “diri”. Identitas-identitas ini, adalah “peran” yang kujalani sampai sekarang. Kamu mungkin mengenal aku sebagai “aku” yang menulis cuap-cuap kurang penting di medium, atau sebagai kawan bertukar pesan kalau kebingungan mau makan apa, atau sebagai aku, mahasiswi suatu jurusan x di kampus y. Lantas, seorang “aku” di kepalamu akan membentuk “label” yang kamu kasih ke aku. Kadang aku menyadarinya kadang enggak. Aku pun punya label sendiri untuk aku, yang mana terbentuknya label itu nggak lepas dari kondisi sosial, politik, budaya, biologis, dan lantas kurefleksikan dalam rangka mengenal diriku.
Terus, sebenarnya yang mana adalah “aku yang aku”? Kata Afutami, ketika lapisan-lapisan yang datang dari luar diri dikupas satu-satu, aku akan menemukan diri sejati. Apa “diri sejati” ini berarti bagaimana aku melihat aku kah? Apa “diri sejati” bisa ditemukan kalau aku sedang sendirian? Ini aku ngasal sih, mungkin karena ketika aku sendirian, yang aku pikirkan mostly diri aku sendiri. Aku bisa bongkar pasang puzzle atas apa-apa yang aku pikirkan atau yang aku rasakan. Kalau ga puitis sih karena gimana otak kita ngeproses sih ya….dan proses itu terjadi juga dari trigger eksternal, alias ruang-ruang sosial dan politik.
Hm jadi “aku” ini adalah makhluk kompleks yang tersusun dari sel. Sel yang menyusun aku jadi demikian karena ada kromosom. Kromosom tersusun dari gen-gen yang isinya DNA. gitu dah. Jadi, “aku” ini biologically dan socially, complex.
Setelah beberapa tahun ini maksa buat nggak mau lekat dengan dilabelin ini-itu, baru-baru ini aku udah berdamai dengan fakta kalau label itu akan selalu ada. Yang bisa ngontrol untuk nggak melekatkan label itu ke bagaimana aku berlaku, ya aku sendiri. Mungkin bias karena pikiranku tentunya udah lebih cepat dalam menginternalisasi “idea tentang aku”. Tapi seenggaknya aku udah ada kesadaran untuk memisahkannya. Yah semoga sih.
Gimana kamu mendefinisikan kamu?
Selain mikirin sendiri, aku sering minta bantuan temanku sih biasanya kukirim trend video tiktok kayak, what’s my red flags and green flags, 5 descriptions about me, atau yang visual kayak, which taylor swift’s song i am? Atau minta bantuan spotify alias diagnosis harian melalui daylist kwwkkw kocak sih ini dan ga selalu representatif.
Ada juga tuh trend di tiktok, i want to define by the things i love. Kalau gitu, aku adalah kompilasi dari; hutan dingin, hujan, keluargaku, my innermost circle pertemananku, lagu-lagu John Mayer dan yang saat ini ada di playlist kesukaanku, novel, tulisan-tulisan yang kubaca dan membentuk aku, surabaya bus waktu malam dan ga terlalu banyak penumpang, waktu subuh, hm banyak lainnya sih.
Tujuan
Pertanyaan tentang tujuan hidup tuh pertanyaan yang nggak kelar-kelar kulontarkan ke diri sendiri. Ini yang bikin aku yearning berkepanjangan. Ngapain ya aku di dunia ini? Tentunya kalau mikirin itu terus aku nggak akan ngapa-ngapain sih.
Awal-awal ospek kuliah dulu, semua mahasiswa baru disuruh untuk menyusun tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Waktu kulihat lagi punyaku, tujuan jangka pendek sifatnya materialistis abis dah. Sesuatu yang bisa dilihat. IPK segini, menang lomba, menulis novel, etc etc. Atau baru-baru ini, target skripsi kelar. Apakah kejadian? Ga semua. tapi apakah emang aku mengusahakannya? Gak semua kuusahakan. Dari sini, tujuan jangka pendekku tuh mostly akan berubah mengikuti keadaanku saat itu. Alias, termanifestasi dalam to do list sehari-hari, yang seringnya ga kutulis. Malah seringnya jadi gaada goals harian bjir karena males bikin. Kalau jangka panjang, ini lebih ke aku mulai nggak hanya mikirin tentang aku sendiri, tapi juga apa yang bisa aku lakukan untuk the greater cause. Proses menemukan itu menurutku adalah proses membongkar dan membangun diri sendiri, dan kata Millata, “Mereka ga pernah bilang kalo mencari diri sendiri tu sesunyi ini men jalannya.”
Pencarian tujuan ini akan berbuntut ke mencari passion. Passion tuh bullshit katanya, karena ya yang bikin kamu atau aku melakukan sesuatu adalah tanggung jawab atas pilihan dan kedisiplinan. Bjirlah kataku. Nah, pilihan ini apakah selalu ada? Nggak sama sih per orang, tapi kalau bisa memilih tuh udah adalah privilege ga sii?
Permasalahannya adalah passion kecil ini seringkali cuma pengen ngikutin arus, ia mendengar ke luar, ia tidak tegak, ia hanya mencari nyaman dalam kisruhnya hidup. Sedangkan passion besar, akan membawaku melawan apapun keadaan yang akan aku hadapi, baik susah maupun mudah, baik indah maupun sengsara. — Rara Sekar via Tumblr
Hmzmzmzmz passiion kecil mungkin aku udah ketemu, kayak aku dengan menulis, atau aku dengan concern topik dari jurusan kuliahku, atau aku dengan aktivitas jalan-jalan. Semuanya kayak api. Nyala dan matinya mudah dan cepat. Juga mudah berubah. Passion besar? Bayang-bayang “intinya” aku ada sih men, tapi ya gitu. Aku masih terus bingung dan kucoba gali terus. Yang sering kulupakan adalah sesuatu yang gede gaakan langsung gede, semuanya dimulai dari langkah-langkah kecil, yang sayangnya, aku kurang sabar dan terlalu grasa-grusu dalam melangkah.
Atau mungkin, aku juga kurang mencari atau dengerin apa yang aku benar-benar mau. Satu lagi, aku jarang mau mencoba. Sure aku punya curiosity, tapi tuh rasanya kalau ga benar-benar exciting, gaakan kulakukan. Kesel gak wkwkwk. Gimana mau tau kalau ga nyoba dulu…… ini sih men yang mau aku latih, lebih trabas aja. Biar nggak ribet dalam pikiran tokk.
Interconnected
Gimana proses aku dalam menemukan tujuan atau memupuk passion tersebut? Jujur aku nggak bisa melepaskan kondisi eksternal saat ini. Kapitalisme yang makin kronis, genosida, dunia yang patriarkis, dan tempat aku hidup, Indonesia. Yang jelas, makin ngaco aja. Terlebih ke karierku nanti. Realistis vs idealis. Brutal emang hidup.
Harapanku sih aku ingin mencari irisan antara idealismeku dengan realitas yang melingkupi aku. Tentanf bagaimana bisa aku tetap senang apa yang aku lakukan, tapi juga bikin aku sejahtera, dan nggak lupa berdampak nggak hanya buatku sendiri. Dan sayangnya, belum nemu. DAN OLEH KARENA ITU, yearning mulu wkakakka. Tapi aku juga seneng karena aku masih punya rasa “yearning” itu. Karena yearning aku jadi berusaha atau bahkan udah punya harapan. Dan harapan itu bisa jadi menghidupi.
Mungkin inilah saatnya reflective journaling rutin itu fren. Tuntun aku plis @the greater entity.
On Love
Selain kelimpungan karena yearning tujuan dan passion dalam hidup ini, ternyata aku juga yearning on love. Baru sekarang aku paham sama kata Ayu Utami dalam bukunya Anatomi Rasa setelah sering kuunggah karena terdengar deep dan keren.
Asmara itu membakar, sementara cinta itu menerangi.
Selama ini kayaknya aku mendefinisikan cinta sebagai sesuatu yang meledak-ledak, yang bikin cekikikan, khas anak muda banget (aku memang masih muda). Makanya aku bilang aku belum jatuh cinta karena belum pernah merasakannya woakakkaka. Padahal yang kumaksud sepertinya sih adalah kasmaran.
Baru-baru ini, selain yearning masalah tujuan hidup, aku juga yearning on love. Secara teoritis mungkin aku udah sering baca apa itu cinta.
kalau bisa aku break down, yang kuharapkan kalau lagi siklus hormonal atau waktu zaman SMA, adalah cinta yang meledak-ledak, manis, dan bikin cekikikan. Kayak kukis coklat. Mungkin ini yang disebut Ayu Utami sebagai “asmara”, alias w mau kasmaran.
Nah kalau yang terus ada, ternyata, yearning on love yang kumaksud di sini adalah yearning akan bentuk cinta yang tenang, untuk saling mengerti atau berusaha mengerti seluruh lapisan-lapisan diri yang kompleks itu, yang bikin masing-masing growing and evolving. Kayak teh chrysantemum mint tea. Tenang dan menyegarkan.
Hmzmzms apakah w yearning platonic relationship yah kalau gini ceritanya. Tau deh. Tapi nggak juga deh? Mungkin sekaligus hubungan romantis kan juga bisa begitu…
Aku udah ngomongin ini kayaknya di tulisanku sebelumnya, dalam skala yang lebih besar, selain punya s/o untuk bersama menjalani hari, aku ingin hidup di komunitas yang saling caring dan nurturing satu sama lain. Muluk abis tapi gapapa.
Dan dalam skala yang nggak terukur, yang mengakar, adalah yearning akan Tuhan.
Yearning akan Tuhan ini sudah ada sejak kecil. Dulu aku sangat berusaha nyari Allah karena belum bisa menerima idea bahwa Allah nggak bisa kita lihat dan nggak berwujud. Saat itu pun dalam pikiranku “Allah” bukan hanya dalam Islam, tapi bisa ditemukan dalam agama lain, atau entitas lain. Yang pernah kulakukan adalah membentuk salib dari double tape karena penasaran abis lewat depan gereja dan menyembah ikan emas. Dulu kuanggap Allah itu adalah atau berada di dalam ikan emas di kolam depan rumahku………..kayaknya kepengaruh sinetron. Aksi pertama aku dimarahin sama mamaku wkakkaka.
Kalau sekarang, yearning itu termanifestasi dalam pertanyaan-pertanyaan dan kebingungan-kebingungan sih. Serta keingintahuan untuk mencari. Masih kayak dulu cuma beda cara aja. Tapi bukannya semua manusia tuh punya tendensi ini yah? Kayak, perjalanan ini tuh personal banget.
Yah, awalnya mau bikin refleksi ala-ala menuju hari lahir. Tadi aku minum kopi saku di indomaret point sambil belajar buat sooca besok. Awalnya ngantuk terus kepikiran nulis ini jadi nggak ngantuk lagi.
Mereka ga pernah bilang kalo mencari diri sendiri tu sesunyi ini men jalannya — Millata.
Meskipun perjalanan sunyi itu sifatnya personal banget, sering ngeselin bikin frustrasi karena ngerasa kayak berada di terowongan dan ga sampai-sampai, Setidaknya, ada kunang-kunang setelahnya. nyala-nyala kecil yang adalah harapan, keluarga, teman, hal-hal yang kusukai, dan apa yah, apa aja yang bikin aku memutuskan buat jalan aja jalan terus. Semoga sih kelihatan.
Oh ya, to sums up, intinya aku ingin menjalani hidupku dengan seneng-seneng aja sebenarnya, tapi aku sadar kalau itu nggak mungkin karena ada penderitaan-penderitaan yang gabisa dihindarin (pinjam istilahnya Frankl), juga karena kita manusia yang kompleks, reaksi yang ditimbulkan akan suatu kejadian, meskipun kejadiannya mirip pasti gaakan sama. Alias life’s full of unpredictabilities.
Choose fun, kalau bisa. Wkwkkw. Aamiin.
On a serious note, aku ingin pilih yang bikin “content”.
Semoga aku ga menua dengan membosankan, semoga aku bisa menjalani hidup dengan rasa penuh (meskipun rasa kosong itu diperlukan biar tau rasanya penuh), semoga makin lihai dalam mengambil keputusan sehari-hari, semoga selalu berada dalam keberkahan dan cinta kasih baik dari atau ke dalam diri sendiri dan sekitar. Atau kalau bisa, ke seluruh beings.
Bjir siapa nih besok sooca sekarang malah nulis kayak begini….
Gws.
30/06/2024
2.32
Sincerely,
F.