Aku habis ulang tahun, kalau aku mengucapkan ke orang lain, biasanya kubilang, “selamat ulang dan ilang tahun!”
Ulang dan ilang.
Kontradiksi makna yang benar adanya. Aku merayakan hari lahir ke-19, di saat itu, usiaku bertambah satu secara angka, namun berkurang satu secara esensi. Menjadi lebih akrab kepada kematian. Aku sering membatin kenapa Soe Hok Gie mengatakan mati muda masuk ke dalam berkat di saat kenyataannya kita tidak tahu kapan kita mati. Bertanya-tanya, kapan selegowo itu untuk menggaungkan if I die young, don’t pity me. Juga muda dan tua adalah kerelatifan. Di mata Keana yang masih 4 tahun, 19 tahun mungkin ia katakan sebagai “sudah”, untuk ayahku yang sudah 61 tahun, mungkin ia katakana sebagai “masih”. Masih 19 tahun, sudah 19 tahun. Sound different, right?
Sering aku baca di laman sosial media, bagaimana teman-teman seumuranku terlihat sangat keren, sudah financially independent, ada yang jago banget public speaking, jadi founder sebuah komunitas sosial yang bergerak menangani isu terkini, ada yang juara olimpiade, juga ada yang bukunya sudah terbit lalu terjual ribuan copy. Hal-hal yang aku harap bisa aku wujudkan seringkali jadi bahan komparasi terhadap diriku sendiri. Bagaimana aku masih berkutat dengan lingkaran benci diri, kemalasan, ketakutan untuk memulai.
Ya, memulai.
Memulai untuk belajar, memulai untuk menulis, memulai untuk ikut lomba, memulai untuk bicara. Tanpa risau apa-apa, yang artinya, aku harus menyiapkan terlebih dahulu. Agar siap dan tidak risau. Berganti kemalasan dan pikiran negatif hadir.
Gimana kalau ga worth it?
Berguna ta buat cita-citamu?
Siapa yang bakal baca?
Ini terlalu dangkal ga sih analisisnya?
Picisan banget
And the list goes on.
Lingkaran setan. Setannya ketawa karena aku gak mulai-mulai dan terjebak di ruangan yang aku ciptakan sendiri.
Insecurities make some false beliefs about myself. Aku merasa I’m not good enough, my writings are bad, beban orang tua.
I wish I could be more outspoken, aku punya suara. Punya keberanian mengutarakan apa-apa yang ada di kepala. Mau belajar. Bisa kok mulai dari awal.
…………………….
I bought myself a super earlier birthday gift. Sebuah jurnal. Aku sering menolak perasaan yang hadir ke aku, kayak, “ngapain sih ngerasa kayak gitu? Harusnya nggak.” Berimbas pada sampai sekarang susah untuk ekspresif. Kurang bisa nangis dan tertawa. Kurasakan sendiri dengan nulis aku sekarang bisa lebih “merasa”. Ahahhahaha. Jurnal itu sebagai sarana aku menulis apa saja yang aku mau. Catatan perjalanan baruku.
Beberapa minggu sebelum ulang tahun pun tidak seperti tahun-tahun lalu. tahun ini aku lebih panik dan lebih menuntut ke diri sendiri. Aku bikin adulting journal untuk aku. Kali ini aku nggak mau hanya nafas aja, rasa-rasanya hierarki maslow benar, di puncak hierarki kebutuhan, aku butuh aktualisasi diri.
Hal itu ketika sekolah bisa terlihat dengan nilai rapor yang straight A’s misalnya. Kini, waktu lengang sebelum aku masuk kuliah lagi, pertanyaan yang sering mengganggu aku, mengganggu lebih keras lagi.
Untuk apa aku hidup?
Di bukunya Viktor E. Frankl yang Man’s Searching for Meaning, kalau nggak salah ingat, ada satu bagian dia bilang, tiap manusia punya their own “why”, punya peran masing-masing. Dan peran itu yang bikin jelas tujuan hidup tiap orang. Jadi, ketika datang any how, dia nggak berhenti. Nggak menyerah. Dia sudah menemukan kebermaknaan hidupnya, so he’ll keep his live.
Kebermaknaan hidup.
Kurasa, selama aku masih mau hidup, sebenarnya aku sudah tahu tujuan hidupku, makna hidupku, dan bagaimana kuharapkan peran hidupku di dunia ini. Kalau kata Kak Gadis di mediumnya, dilihat dari benang merah di antara benang-benang yang berbeda warna selama kita hidup. Yang selalu ada di tiap kejadian hidup kita.
Jurnal itu juga saranaku terus mempertanyakan “why”, nggak mesti harus malam itu, nggak mesti juga harus sama terus. Bebas. Menurutku.
Kata-kata setiap manusia punya peran masing-masing, agak menenangkan aku kalau aku bebas jadi apa yang aku harap aku menjadi. Kegagalan yang aku telah alami, keberhasilan, duka, cita, pemikiran dan perjalanan yang enggak ternilai dan membentuk bagaimana aku sekarang. Setiap orang berhak merasa, hal itu yang bikin aku (((kuharap))) nggak nge-judge terlalu awal terhadap sesuatu atau seseorang. Kan kita mengalami hal yang berbeda.
“Every one of us is, in the cosmic perspective, precious. If a human disagrees with you, let him live. In a hundred billion galaxies, you will not find another.” — Carl Sagan
Ya.
Nggak ada yang bisa menggantikan keberadaan siapa pun di dunia ini.
………
Untuk Aku.
Selamat ulang dan ilang tahun, ya. Mungkin aku sendiri yang paling telat mengucapkan kalimat ini. Hidup ini harus kita jaga nggak, sih? Meskipun itu benar, if I die young don’t pity me. Karena setiap orang melewati hal-hal yang berbeda setiap detiknya.
Fad, aku harap, kamu makin berkah hidupnya. Meskipun aku nggak tahu perspektif Tuhan terhadap keberkahan itu yang bagaimana. Yang ada di dinding kamarku, “Tuhan juga selalu bersama orang-orang yang tidak hanya menolong dirinya sendiri, tetapi juga orang lain.” Semoga persimpangan jalan yang kamu pilih ini membawa ke sana.
Semoga tulisan-tulisanmu makin jelas mau bilang apa, nggak belibet, dan menjadi nyala bagi siapa pun yang membacanya. Termasuk kamu sendiri. Nggak harus nyala yang besar, kecil aja, namun cukup untuk menerangi. Seperti harapan. Urip iku urup.
Nggak ada yang selamanya di dunia ini. So cherish every moment. Di titik tertentu, kamu bisa kok buka suara, nggak harus dipendem terus, berpetualang ke tempat-tempat yang kamu mau, kamu berhak kok mengupayakan harapan-harapanmu, kamu yang tahu betul isinya apa. Kamu yang tahu betul harapmu apa. Kamu yang paling bertanggung jawab atas itu.
Atas kuasa Tuhan dan bantuan semesta, kita masih ada di sini. Berkali-kali kan, kamu berpikir mau mati aja, ngapain sih lahir, tapi Dia mau kamu lahir, kamu sanggup untuk lahir dan menjalani hidup.
Entah sampai kapan detak jantung ini.
Jangan berjarak kejauhan dengan-Nya.
Juga, nyatanya, sekuat apa pun kamu pushed everyone untuk ngga masuk ke chaos hidupmu, akan selalu ada orang yang membersamai. Entah dia yang lebih kuat saat itu atau kita sama-sama tertatih.
Nggak selamanya, bahkan nggak lama juga, tetapi selalu ada. Orang-orang itu selalu ada. Baik secara langsung maupun engga langsung.
You never walk alone and never will.
Hidup lebih sehat dan lebih mencintai diri sendiri, bukan yang kamu bebas makan apa pun yang kamu mau atau boros dengan dalih self reward. No. di sini, mencintai diri sendiri berarti let yourself grow.
Mungkin memang, setiap harinya kita berkesempatan untuk memulai yang baru. Matahari terbit lagi. Hari baru lagi.
Aamiin untuk doa-doa baik yang dipanjatkan orang-orang untukmu.
Waktunya untuk menjadi, bukan hanya mengikuti.
Semoga Allah selalu membersamai (atau mungkin Dia selalu bersama tapi kita yang menjauh?)))
dan
Semoga semesta merestui perjalanan baru ini.
Dari dirimu sendiri,
Fad.
27/08/2021, 00.47.